UU No 12 Tahun 2006 Mengenai Status Kewarganegaraan di Indonesia

Sebagai pengganti UU No 62 Tahun 1958, pada tanggal 1 Agustus 2006 UU No 12 Tahun 2006 sah diresmikan. Menjadi undang-undang baru yang mengatur perihal status kewarganegaraan di Republik Indonesia.

Undang-undang adalah pondasi dasar sistem hukum dapat berjalan di sebuah negara. Di Indonesia sendiri seluruh kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat kita semuanya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Warga sebagai unsur hakiki sebuah negara harus memiliki status yang jelas serta berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya. Hak dan kewajiban warga negara merupakan satu pokok bahasan yang diatur oleh sistem perundang-undangan.

Adapun perihal ihwal undang-undang kewarganegaraan sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Berikut ulasan lengkapnya:


Terbentuknya UU No 12 Tahun 2006


dictio.id

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dimana segala aturannya didasarkan atas hukum yang berlaku. Segala hal yang berkaitan dengan warga negara diatur dalam aturan yang baku guna melaksanakan kegiatan berbangsa dan bernegara.

Sejak Indonesia merdeka perihal kewarganegaraan telah mengalami berkali-kali mengalami perubahan perundang-undangan. Secara yuridis perihal status kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Udang Kewarganegaraan yakni Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.

Namun seiring berlakunya Dekrit Presiden pada tahun 1959, maka UUD 1945 kembali diberlakukan. Dimana seperti yang kita ketahui bersama UUD 1945 sudah berkali-kali pula mengalami amandemen dengan tujuan lebih menjamin perlindungan HAM dan hak warga negara.

Awal mulanya perihal tentang warga negara dan penduduk negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Hampir setengah abad lamanya pengaturan mengenai kewarganegaraan mengacu pada undang-undang ini.

Seiring berjalannya waktu UU ini dianggap sudah tidak sanggup lagi mengkoordinir kepentingan pihak kewarganegaraaan khususnya perihal anak dari hasil perkawinan campuran. Secara filosofis, yuridis, dan sosiologis UU tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Selain perihal perkawinan campuran, UUDS Tahun 1950 dianggap masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila. Diantaranya bersifat diskriminatif, tidak terlalu menjamin pemenuhan hak asasi, dan kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.

Berdasarkan perihal tersebut pada tanggal 11 Juli 2006 DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu UU Nomor 12 Tahun 2006. Aturan terbaru dari undang-undang ini adalah memperbolehkan dwi kewarganegaraan

Perkawinan Campuran

Meski menimbulkan pro kontra, namun tak sedikit yang gembira menyambut undang-undang ini khususnya bagi mereka yang menikah dengan warga negara asing.

Menjadi salah satu persoalan yang cukup rentan karena anak yang lahir dari perkawinan campuran dahulu belum memiliki status kewarganegaraan yang jelas. Dahulunya Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, yaitu seorang anak hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan.

Dalam undang-undang lama seorang anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran harus mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Hal ini tentu saja menimbulkan persoalan baru jikalau nanti di kemudian hari kedua orang tua tersebut bercerai.

Seorang Ibu akan kesulitan memperoleh hak asuh anaknya karena berstatus warga negara asing atau tidak sama dengan kewarganegaraan Ibu kandung. Untuk itu UU Nomor 12 Tahun 2006 meninjau dan mengatur kembali perihal yang berkaitan dengan status kewarganegaraan secara lebih detail.

Sebab hak kewarganegaraan sangat penting artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga negaranya. Sekaligus mengatur tentang hubungan timbal balik antar warga negara dan negaranya melalui perihal asas hak dan kewajiban.

Dengan terbentuknya UU Nomor 12 Tahun 2006 diharapkan dapat menghapuskan dampak buruk dari UU yang lama. Sehingga keadilan dapat ditegakkan dimana negara memperlakukan warga keturunan asli dan campuran dengan perlakuan yang sama tanpa dibedakan.

Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak seorang anak dalam mendapatkan status kewarganegaraan. Jangan sampai seorang anak tidak mendapatkan perlindungan hanya karena kehilangan status kewarganegaraan akibat perkawinan campuran.

Isi UU Nomor 12 Tahun 2006

Beberapa poin terpenting dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, di antaranya adalah:

  1. Sifat non-diskriminatif yaitu status kewarganegaraan Indonesia seseorang tidak lagi ditentukan berdasarkan ras, keturunan, suku bangsa, agama dan sebagainya. Tetapi ditentukan berdasarkan aturan hukum.
  2. Memberi kewarganegaraan terbatas kepada: Seorang anak WNI yang lahir dari suatu perkawinan campuran. Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan. Seorang anak dari pasangan WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah dan diakui oleh ayahnya yang WNA.
  3. Memberi kesempatan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
  4. Persamaan di depan hukum bagi perempuan dan laki-laki untuk mengajukan pewarganegaraan.
  5. Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.
  6. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah atau ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya.

Sekian ulasan mengenai UU Nomor 12 Tahun 2006. Semoga menambah wawasan kita tentang status kewarganegaraan di Repblik Indonesia.

Keyword: UU No 12 Tahun 2006

Originally posted 2020-10-19 13:00:39.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.