Pengertian Riba Beserta Dalil dan Hukumnya dalam Islam

Pengertian riba adalah melebihkan jumlah pinjaman atau menetapkan bunga dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Riba berasal dari kata dalam Bahasa Arab rabaa (ربا) yang artinya pertambahan atau tumbuh.

Perbuatan riba diharamkan di dalam Islam karena didalamnya mengandung unsur kedzaliman.


Pengertian Riba


Kata riba berasal dari Bahasa Arab ra-baa (ربا) yang artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Ar-riba (الرب) merupakan isim maqsur dari kata rabaa – yarbuu (ربا – يربو) yang merupakan fiil madhi dan mudhari’ sehingga ditulis dengan alif, ar-ribaa (اربا).

Jika orang mengatakan arbaytuhu, maka artinya aku telah menambahkan dan menumbuhkannya.

Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah(الزيدة) atau pertambahan baik pada zat sesuatu itu sendiri.

Pengertian lain secara bahasa riba juga berarti tumbuh dan membesar.

Sedangkan secara istilah teknis riba memiliki arti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.

Penambahan ini biasa ditemukan dalam praktek transaksi jual – beli maupun pinjam – meminjam.

Disebutkan dalam kitab Mughnil Muhtaaj bahwa riba merupakan akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syariat.

Entah itu dilakukan saat akad maupun dengan menangguhkan (di akhir) dua barang yang ditukarkan salah satunya.

Praktek riba sangat bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Bukan hanya menjadi persoalan masyarakat Islam, tapi banyak juga masyarakat di luar Islam yang memandang serius persoalan riba.

Bahkan kajian terhadap masalah riba telah ada sejak 2000 tahun silam. Permasalahan mengenai riba ini telah menjadi bahasan di kalangan Yahudi, Yunani, dan Romawi.

Masyarakat kristen atau Nasrani juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.


Hukum Riba dalm Islam


Memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman haram hukumnya.

Dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun riba itu diharamkan karena termasuk perbuatan dosa besar.

Diharamkan atas pemberi hutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga pinjaman.

Baik itu yang berhutang orang kaya apalagi orang miskin. Masing-masing dari kedua pihak yang terlibat riba menanggung dosa.

Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim, baik yang kaya atau yang fakir untuk berhutang kepada bank atau semacamnya dengan bunga.

Mau itu bunganya 1%, 5%, atau 10%, atau lebih tetap saja dianggap riba dan termasuk dosa besar.

Lebih baik orang yang fakir mencari pekerjaan halal dengan menjadi buruh, entah itu burh tani, atau buruh bangunan.

Bisa juga menjadi pelaku usaha dengan menggunakan modal dari orang lain asalkan sistemnya jelas dan bukan riba.

Semisal ia tidak memiliki ilmu untuk membuka usaha bisa juga menjadi tenaga kerja ditempat orang lain.

Mendaftar di sebuah perusahaan atau pegawai negeri sipil misalnya. Dan barangsiapa yang tidak mampu berusaha padahal ia fakir, maka diperbolehkan baginya meminta-minta.

Hendaknya setiap muslim itu mencukupkan diri dengan hal-hal yang dihalalkan dan menjauhkan dirinya dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Allah telah memberi kelapangan rezeki kepada umat Islam dengan memberikan banyak pilihan pekerjaan yang halal.

Dalil Quran

Tidak hanya dosa, tapi orang yang melakukan praktek riba dilaknat oleh Allah.

Begitu juga dengan setiap orang yang ikut membantu atau terlibat dengan transaksi keduanya, baik itu saksi atau penulisnya ikut berdosa.

Larangan mengenai perbuatan riba telah ditegaskan oleh Allah dalan surah Al Baqarah ayat 275 – 276:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.


Jenis Riba


1. Nasi’ah

Adapun riba jenis nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan oleh si pemberi hutang dari si peminjam sebagai imbalan atas tempo yang diberikan.

Dengan kata lain waktu tempo yang diundurkan tiap harinya dijadikan peluang mendapat uang.

Dinamakan riba an-nasi’ah (akhir) karena tambahan ini dikenakan sebagai imbalan dari waktu yang diundurkan.

Hutang yang dimaksud bisa karena peminjaman atau juga penjualan barang (ambil dulu bayar setelah laku).

Bisa juga diartikan sebagai penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang riba yang dipertukarkan dengan jenis barang riba lainnya.

Hal semacam ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Disebut juga Riba Jahiliyah karena dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.

Dahulu orang-orang jahiliyah meminta uang lebih dari pembayaran hutang karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu jatuh tempo.

Disebut juga riba jali (nyata) atau riba dain atau duyun (riba pada hutang) karena terjadi pada hutang piutang.

Diperbolehkan mengambil upah jika tambahan tersebut merupakan inisiatif orang yang berhutang tanpa adanya paksaan.

Intinya tambahan yang disyaratkan meski belum jatuh tempo tetap haram karena termasuk riba.

2. Fadhl

Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya tambahan.

Adanya pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang riba.

Ulama ada yang menyebut riba ini dengan riba an-naqd (kontan) atau kebalikan dari riba an-nasi’ah. Adapula yang menamakan riba khafi (samar) sebagai kebalikan dari riba jali (nyata).

Contoh kasus: seseorang menjual uang pecahan Rp 500 bergambar monyet cetakan tahun 1992 dengan harga Rp 50.000 ditahun 2020.

Itu sama saja dengan riba karena menjual uang nominal dibawahnya dengan harga lebih tinggi. Tidak ada alasan untuk hal ini apalagi mengatasnamakan barang langka atau antik.


Bentuk-bentuk Riba


1. Riba dalam hal Peminjaman

2. Riba dalam Hal Hutang

3. Dalam hal Pegadaian

Ketiga bentuk riba diatas pada dasarnya memiliki persamaan, yaitu tambahan yang diminta dari si pemberi hutang kepada penerima hutang.

Apapun alasannya mengambil keuntungan dari orang yang meminjam atau berhutang tidak dibenarkan dan termasuk riba.

Meskipun sistemnya bagi hasil, tapi bila itu disyaratkan diawal tetap saja dikategorikan sebagai riba.

Apabila tambahan merupakan pemberian sukarela di akhir dari si peminjam, maka diperbolehkan mengambilnya dan itu halal.


Jenis Barang yang Diharamkan Riba Padanya


1. Emas dengan emas

Cohtohnya: seseorang meminjamkan emas muda atau menjual emas muda, tapi minta diganti dengan emas tua.

2. Perak dengan perak

Contoh kasus: si A membeli perak 5 gram di tempat si B kemudian dia hendak menjual kembali, si B mau mmebelinya kembali tapi dengan harga dibawahnya dengan alasan uang administrasi.

3. Gandum dengan gandum

Contohnya: seseorang membeli tepung gandum merek murahan lalu si pembeli minta dibayar dengan gandum yang lebih mahal atau timbangannya dilebihkan.

4. Garam dengan garam

Sama halnya dengan kasus kasus sebelumnya garam juga harus dibeli dengan uang.

Bila dibeli dengan garam, dalam artian meminjam dulu lalu akan diganti dengan garam dikemudian hari tidak diperbolehkan. Apalagi timbangannya tidak sama.

5. Ruhtab (Kurma) dengan ruhtab

Begitu juga dengan kurma yang boleh ditukar dengan kurma dengan timbangan yang sama dan saat itu juga.

Apabila ditukar atau dibeli dengan uang, maka boleh dilebihkan harganya.

6. Beras dengan beras

Praktek penukaran beras kerap terjadi sehabis Idul Fitri. Biasanya penerima zakat menukar beras zakat dengan beras yang lebih baik.

Biasanya si penjual mengurangi timbangannya sehingga penerima zakat mendapat beras bagus lebih sedikit. Ini termasuk riba dan tidak diperbolehkan.


Demikian penjelasan kami mengenai Pengertian Riba. Semoga bermanfaat.

Originally posted 2021-08-13 07:31:35.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.