Rumah Adat Bali yang Sarat Akan Nilai Budaya dan Agama

Rumah Adat Bali memiliki pintu gerbang yang khas dan disebut gapura candi bentar. Dibangun berdasarkan agama dan tradisi bali yang merupakan perwujudan dari Tri Hita Karana. Sebuah konsep hidup manusia untuk hidup selaras dengan Sang Hyang Widhi Wasa, selaras dengan alam, dan sesama manusia.


Rumah Adat Bali


Provinsi Bali beribu kota di Kota Denpasar memiliki luas wilayah sebesar 5.780,06 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 4.336.900 jiwa. Suku asli penduduk Bali, ialah etnis Bali dan Bali Aga. Sedangkan etnis pendatang, diantaranya ada Suku Jawa, Madura, Melayu, Sasak, Suku asal NTT, Tionghoa, Sunda, Bugis, Batak dan lainnya.

Bahasa daerah yang digunakan adalah Bahasa Bali, tapi ada beberapa bahasa daerah lain yang digunakan para pendatang, seperti Bahasa Jawa, Sasak, dan Madura. Penggunaan bahasa asing, seperti Bahasa Inggris dan Jepang juga banyak umum di Bali. Hal itu dikarenakan Bali merupakan destinasi wisata turis mancanegara.

Bali juga kerap disebut sebagai Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Agama hindu menjadi agama paling banyak dianut di Bali. Itu juga yang mendasari arsitektur bangunan-bangunan tradisional di sana termasuk juga rumah adat Bali.

Umah Bali

rumah adat bali
fumizing.com

Agama Hindu menjadi agama mayoritas di Bali. Ajaran agama Hindu membagi golongan masyarakat ke dalam empat kasta. Keempat kasta tersebut, yakni:

Pertama ada kasta Brahmana atau golongan pemuka agama. Kedua ada kasta Ksatria atau golongan bangsawan. Ketiga ada golongan Waisya atau golongan pedagang dan pegawai. Terakhir ada kasta Sudra yang merupakan rakyat biasa.

Berdasarkan keempat tingkatan kasta tersebut, sebutan untuk tempat tinggal di Bali berbeda-beda tergantung kasta si pemilik rumah. Bagi kasta Brahmana rumahnya disebut geria, untuk kasta Ksatria disebut puri. Sedangkan tempat tinggal untuk kasta Waisya dan Sudra disebut dengan umah.

Ajaran Agama dan Acuan Membuat Rumah

Semua rumah adat Bali dibangun dengan konsep Asta Kosala Kosali. Konsep tersebut merupakan sebuah aturan yang tertuang dalam ajaran agama Hindu Bali. Asta Kosala Kosali mengaangap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur. Diperkaya juga dengan ajaran yang terdapat dalam Wedha atau kitab suci agama Hindu.

Manusia sebagai bhuwana alit dianjurkan bisa mempunyai nilai-nilai yang selaras dengan bhuwani agung. Termasuk juga dalam membangun sebuah rumah tinggal. Maksudnya dnegan mengatur sebaik-baiknya semua unsur, tata palihan, tata letak, tata ruang, dan tata cara pensucian.

Itulah yang menjadi dasar mengapa sebab membuat rumah harus mengambil ukuran dari orang yang memilikinya (mekardi). bahkan dalam lontar hasta kosali disebutkan aturan sekaligus sangsinya jika melanggar.

Ukuran rumah harus menggunakan kesatuan ukuran pemiliknya, seperti depa ruas, tapak kaki, dan lain sebagainya. Ajaran Tri Hita Karana juga diwujudkan dalam membangun wadah buatan seperti halnya tempat tinggal.

Meresapnya ajaran Tri Hita Kirana sampai pembuatan tempat tidurpun mengambil sari dari ajaran ini. Memakai pelangkiran (tempat suci) serta tempat tidur jelas ulu dan belakangnya. Tempat menyampirkan pakaian tidak boleh sembarangan, begitu juga kalau dalam satu bangunan terdapat wc, tidak boleh seenaknya menempatkan arahnya.

Pembagian harus jelas dalam tata cara menghias rumah tradisional Bali. Sebut saja pedepa penghias kaki, langse penghias badan, dan ider-ider sebagai destar bale. Bangunan tradisional dianggap sebagai makhluk hidup, sehingga terdapat juga keoala, badan, serta kaki.

Atap dan kerangkanya dianggap sebagai kepala. Kerangka tiang fondasi dan tembok yang merupakan bagian tengah dianggap sebagai badan. Serta fondasi lantai dan konstruksi bagian bawah sebagai kaki. Sebagai makhluk hidup rumah juga dianggap memiliki jiwa dan tenaga karena itu perlu dihidupkan lewat proses pengurip.

Proses pengurip adalah sebuah prosesi dengan upacara keagamaan. Setelah melewati proses tersebut barulah bangunan dianggap sudah hidup seperti mahkluk hidup lainnya. Berhubung dianggap sebagai makhluk hidup , maka tindakan pengrusakan seperti pemotongan harus melalui proses keagamaan pula.

Ruang dan Fungsinya

Tata nilai ruang didasarkan pada triangga atau kepala, badan, dan kaki. Parhyangan sebagai tempat ibadah keagamaan, pawongan sebagai tempat aktivitas kehidupan, dan palemahan sebagaitempat pelayanan umum.

Parhyangan sebagai tempat suci pemerajan atau sanggah berada di timur laut. Bagian tengah untuk pawongan tau ruang-ruang perumahan. Sedangkan bagian barat daya untuk palemahan atau pelayanan (lebuh).

Susunan ruangan dalam bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing bangunan. Bale paon merupakan bagian dapur. Terdapat perapen, jalikan, bale, punapi, serta jineng.

Bale sumanggen untuk ruang upacara adat keagamaan, ruang tamu, dan ruang serba guna. Ruangannya terdiri dari balai-balai serta pelataran. Ada juga bale maten sekutus atau gunung rata yang berfungsi sebagai kamar tidur. Di dalam ruang ini terdapat dua bale-bale tempat tidur dengan delapan tiang dan pamelang sebagai ruang pembatas.

Natah merupakan ruang tengah yang dikelilingi bangunan lain yang berfungsi sebagai ruang tamu atau jemuran. Biasanya natah dipasang atap semipermanen.

Lebuh merupakan halaman di depan kori pintu pekarangan. Ada yang langsung ke jalan depan rumah adapula yang ditempatkan agak mundur.fungsinya sebagai tempat peralihan antara luar dan dalam rumah. Biasanya juga dijadikan sarana upacara.

Telanjakan merupakan ruang sempadan antara tembok penyengker dan jalan. Difungsikan untuk tanaman hias atau untuk keperluan rumah tangga dan keagamaan.

Urutan membangun rumah disesuaikan dengan fungsinya. Sanggah atau pemerajan adalah yang pertama dibangun. Setelah itu bangunan rumah, kemudian baru dibangun bale meten, paon, sumanggen, jineng, dan bale dauh.

Kebanyakan rumah di Bali memiliki luas tanah yang cukup lebar. Hal itu berkaitan dengan adat dan agama yang memungkinkan mereka memiliki rumah yang luas. Sejatinya rumah bagi masyarakat Bali adalah keselruhan bangunan yang ada dalam pekarangan dan biasanya dikelilingi tembok (panyengker).

Gapura Candi Bentar

Rumah gapura candi bentar adalah rumah adat Bali yang memiliki desain gapura atau pintu masuk dengan ukiran sedemikian rupa sehingga tampak seperti candi atau pura. Gapura tersebut mempunyai ukuran cukup besar dan biasanya dibangun tanpa atap penghubung.

Gapura rumah adat bali berupa dua bangunan mirip candi yang kembar yang letaknya saling terpisah secara berhadapan. Keduanya hanya dihubungkan oleh beberapa anak tangga dan pintu pagar yang biasanya terbuat dari besi.

Bagian-bagian rumah adat Bali, diantaranya ada sanggah, bale manten, bale gede atau bale adat, serta pawon atau dapur. Masing-masing bangunan rumah biasanya dibuat terpisah seperti paviliun di dalam sebuah lahan rumah.

Sanggah atau pamerajan merupakan bangunan suci di bagian depan rumah yang biasa digunakan untuk bersembahyang. Tempat ini juga yang setiap harinya diletakkan sesaji oleh para wanita. Adapun bagian atapnya terbuat dari genting tanah liat, alang-alang, ijuk, atau sejenisnya.

Material bangunan biasanya disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemiliknya dari segi materi. Masyarakat biasa menggunakan popolan yang terbuat dari lumpur tanah liat sebagai bahan dinding bangunan. Sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan batu-bata.

Gapura Candi Bentar yang berfungsi sebagai gerbang utama tidak beratap dan sering disebut gerbang terbelah. Terdiri dari dua candi yang bentuknya identik dengan patung-patung disekelilingnya. Bahan yang digunakan secara keseluruhan adalah tanah liat atau batu-bata.

Keywords: Rumah adat Bali

Originally posted 2020-05-11 07:42:54.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.