Pengertian Geguritan Beserta Ciri, Struktur, Jenis, dan Contohnya

“Pengertian Geguritan: Karakteristik, Struktur, Jenis, dan Contoh”

Pengertian Geguritan

Geguritan adalah salah satu bentuk puisi tradisional Jawa yang dimaksudkan untuk dibacakan atau dilantunkan secara bersama-sama. Kata “geguritan” berasal dari bahasa Jawa “gerak kridha tanpa uger-uger” yang artinya adalah gerakan atau aktivitas yang dilakukan tanpa bantuan alat musik. Dalam geguritan, kata-kata dirangkai dengan irama tertentu untuk membuat musik vokal yang indah. Geguritan biasanya dibuat dengan menggunakan bahasa Jawa klasik dengan mengandung banyak sindiran, pesan moral, humor, atau mitos yang dianggap penting bagi budaya Jawa.

Geguritan sangat populer di beberapa tempat di Jawa seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur. Biasanya geguritan dibacakan sebagai bagian dari acara adat seperti perkawinan, khitanan, pengajian, atau upacara tradisional lainnya. Selain itu, geguritan juga sering dibawakan saat festival sastra seperti Hari Puisi Nasional dan Festival Seni Budaya Jawa.

Geguritan mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dari jenis puisi lainnya. Berikut adalah ciri-ciri dari geguritan:

  1. Menggunakan bahasa Jawa klasik
  2. Mengandung banyak sindiran, pesan moral, humor, atau mitos
  3. Menggunakan irama tertentu
  4. Dibacakan atau dilantunkan secara bersama-sama tanpa bantuan alat musik
  5. Mencerminkan nilai-nilai budaya dan tradisi Jawa

Struktur geguritan terdiri dari beberapa bagian yang berbeda, yaitu:

  1. Pupuh
  2. Pepindhan
  3. Gending

Pupuh adalah bagian awal dari geguritan dan berfungsi sebagai pengantar cerita atau tema yang akan dibawakan. Pupuh berisi penggambaran tempat, waktu, dan latar belakang cerita. Sedangkan pepindhan adalah bagian yang berisi cerita atau pesan moral yang ingin disampaikan melalui geguritan. Pepindhan terdiri dari beberapa bait yang dirangkai dengan irama tertentu dan bisa diulang-ulang. Terakhir adalah gending, yaitu bagian penutup dari geguritan. Gending biasanya berisi penjelasan atau kesimpulan dari cerita atau pesan moral yang disampaikan dalam pepindhan.

Secara umum, geguritan dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan tema atau isinya sebagai berikut:

  1. Geguritan Kaekawin, jenis geguritan yang terinspirasi dari sastra klasik Jawa seperti Ramayana atau Mahabharata.
  2. Geguritan Pahlawan, jenis geguritan yang menceritakan tentang sosok pahlawan atau kepahlawanan.
  3. Geguritan Wayang Kulit, jenis geguritan yang terinspirasi dari pertunjukan wayang kulit.
  4. Geguritan Kagok, jenis geguritan yang berisi sindiran-sindiran yang ditujukan pada seseorang atau suatu kelompok.
  5. Geguritan Salonem, jenis geguritan yang berisi humor atau guyonan.
  6. Geguritan Sragenan, jenis geguritan yang berasal dari kota Sragen dan cenderung menggunakan bahasa Jawa dengan logat Sragen.

Berikut adalah contoh geguritan dengan tema “Kebersihan”:

Pupuh:
Gumantunge waja ing karung,
Kang kaya Parakan liwat gung,
Nanging genah iku wis sebersih,
Kadhang kurang para warga gedhung.

Pepindhan:
Kadhang kebersihan kurang dilakoni,
Larsane podo keneh ora kena mati,
Ngumandhang kudhangan kang sinten mili,
Limpapeh sampahnya boten ngluputi.

Gending:
Panjenengan waspada lan sarengat,
Yen ngomongke dana ora mesraat,
Kebersihan urgen dhateng satunggal,
Limpapeh sampah ora podo diperbolehkan.

Dalam geguritan di atas, pengarang mengajak masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan agar terhindar dari penyakit. Hal tersebut ditunjukkan pada bait pepindhan dan juga dinyatakan dalam penutup gending.

Ciri-ciri Geguritan

Geguritan adalah salah satu jenis sastra Jawa Kuna yang terkenal di Jawa. Sastra ini biasanya dipentaskan dalam upacara adat, seperti slametan, pernikahan, khitanan, dan lainnya. Geguritan memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan sastra lainnya di Indonesia. Berikut adalah beberapa ciri-ciri geguritan yang perlu diketahui:

1. Struktur Bait-bait

Salah satu ciri khas dari geguritan adalah strukturnya yang terdiri atas bait-bait. Tiap bait terdiri atas beberapa baris atau kalimat yang diikat dengan rima yang sama. Bait-bait ini biasanya dibagi menjadi beberapa bagian, seperti pembukaan, inti, dan penutup. Karena strukturnya yang berbentuk bait-bait, geguritan sering disebut juga sebagai puisi atau pantun Jawa.

Selain struktur bait-bait, geguritan juga memiliki struktur meter yang khas. Biasanya, setiap bait terdiri atas 8 atau 12 suku kata yang diatur dalam pola tertentu. Pola ini disebut dhandhanggula, dan sering digunakan untuk membuat irama yang indah dan harmonis.

2. Bahasa Jawa Kuna

Salah satu ciri khas dari geguritan adalah penggunaan bahasa Jawa Kuna. Bahasa ini adalah bahasa Jawa yang digunakan pada zaman klasik atau sekitar abad ke-10 hingga abad ke-13. Bahasa Jawa Kuna memiliki kosakata, tata bahasa, dan aturan ejaan yang berbeda dengan bahasa Jawa saat ini. Oleh karena itu, geguritan seringkali sulit dipahami oleh orang yang tidak menguasai bahasa Jawa Kuna.

Penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam geguritan memberikan nuansa klasik dan tradisional yang kental. Selain itu, penggunaan bahasa yang agak sulit dipahami juga membuat geguritan menjadi lebih mengesankan dan menarik perhatian.

3. Pesan Moral atau Keagamaan

Salah satu fungsi utama dari geguritan adalah sebagai media penyampaian nilai-nilai moral atau keagamaan. Biasanya, geguritan mengisahkan tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki makna atau pesan moral yang diharapkan dapat dijadikan pembelajaran bagi pembaca atau pendengar. Makna tersebut dapat berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, atau bahkan pengalaman spiritual seseorang.

Contohnya, geguritan “Arjuna Wiwaha” menceritakan tentang kisah perjuangan Arjuna untuk memenangkan hati Dewi Subadra. Namun, di dalam cerita tersebut terkandung nilai-nilai moral mengenai cinta, kesetiaan, dan pengabdian kepada Tuhan. Begitu juga dengan geguritan “Subali-Sugriwa”, yang mengisahkan perseteruan antara dua saudara monyet. Dalam cerita tersebut terdapat pesan moral mengenai pentingnya persahabatan, kejujuran, dan persaudaraan.

4. Unsur Seni dan Budaya Jawa

Geguritan juga memiliki ciri khas dalam hal unsur seni dan budaya Jawa. Sastra ini sering dipentaskan dengan iringan gamelan atau tari Jawa, sehingga menciptakan suasana yang khas dan sarat dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Selain itu, geguritan juga sering menggunakan bahasa Jawa yang halus dan indah, dengan unsur kiasan dan perumpamaan yang khas.

Penggunaan unsur-unsur seni dan budaya Jawa dalam geguritan mengandung kandungan estetika yang tinggi dan membuat geguritan menjadi sangat menarik dan indah di dengar atau di baca. Selain itu, unsur-unsur seni dan budaya Jawa dalam geguritan juga memperkaya pemahaman kita tentang kehidupan dan budaya Jawa yang kaya dan mengagumkan.

5. Ragam dan Jenis Geguritan

Geguritan terbagi menjadi beberapa genre atau jenis, tergantung dari tema atau isinya. Beberapa jenis geguritan yang terkenal dan sering dipentaskan di masyarakat antara lain:

  • Gendhing Karesmen
  • Gendhing Raja-Raja
  • Gendhing Mijil
  • Gendhing Wayang
  • Gendhing Wilujeng
  • Gendhing Asmarandana
  • Gendhing Irama

Tiap jenis geguritan memiliki ciri khas dan struktur yang berbeda-beda. Misalnya, geguritan Gendhing Asmarandana biasanya terdiri atas 8 atau 12 bait, dengan tema cinta dan asmara. Sedangkan geguritan Gendhing Wayang berkaitan dengan lakon atau cerita dalam pertunjukan wayang.

Secara keseluruhan, geguritan memiliki ciri-ciri yang khas dan membedakannya dengan sastra lainnya di Indonesia. Struktur bait-bait, bahasa Jawa Kuna, pesan moral atau keagamaan, unsur seni dan budaya Jawa, serta ragam dan jenisnya, semuanya menjadi bagian dari keunikan dan keindahan geguritan sebagai warisan kebudayaan Jawa yang perlu dilestarikan dan dipromosikan ke depannya.

Struktur Geguritan

Sebagai salah satu bentuk seni sastra tradisional Bali, Geguritan terdiri dari beberapa unsur yang membentuk struktur geguritan secara keseluruhan. Secara garis besar, struktur geguritan terdiri dari tiga bagian utama yaitu pupuh, gatra, dan mantra.

Pupuh

Pupuh adalah keseluruhan bait dalam geguritan yang terdiri dari beberapa gatra atau baris. Seluruh pupuh dalam geguritan biasanya memiliki jumlah gatra yang sama dan memiliki pola aturan tertentu. Biasanya, pupuh dalam geguritan terdiri dari 4 – 8 gatra dalam satu pupuh.

Gatra

Gatra adalah setiap baris dalam bait geguritan yang dibatasi oleh tanda pangkat “I” atau “U”. Pada umumnya, gatra dalam geguritan memiliki jumlah suku kata yang sama atau seimbang pada setiap barisnya. Dalam satu pupuh geguritan, jumlah gatra akan merepresentasikan jumlah sloka dalam setiap mantra.

Mantra

Mantra adalah sajak atau bait syair yang dimiliki oleh setiap gatra dalam geguritan. Setiap mantra dalam gatra pada umumnya terdiri atas 8-12 suku kata. Penggunaan mantra berfungsi untuk memudahkan dalam menyebutkan atau membaca geguritan selain untuk menambah nilai estetika pada geguritan itu sendiri.

Dalam keseluruhan, struktur geguritan yang terdiri dari tiga unsur utama tersebut, merupakan suatu kesatuan yang harus saling melengkapi dan memberikan nuansa tersendiri pada karya sastra Bali ini.

Jenis Geguritan

Geguritan merupakan sastra lisan tradisional dari Bali yang terdiri dari puisi-puisi yang diucapkan secara lantang dengan iringan musik gamelan. Biasanya, geguritan diketahui melalui ajaran lisan dari guru kepada muridnya. Satu geguritan bisa terdiri dari beberapa bait yang saling berkaitan dan memiliki bunyi sangat indah.

Jenis-jenis geguritan yang ada di Bali sangat beragam. Dalam artikel ini, kita akan membahas tiga jenis geguritan yang sering dijumpai, yaitu geguritan agama, geguritan sejarah, dan geguritan jenaka.

Geguritan Agama

Geguritan agama adalah jenis geguritan yang berisi pesan moral tentang agama. Pesan moral yang dihadirkan dalam geguritan agama berupa ajaran tentang kebaikan, kejujuran, serta keagungan Tuhan. Dalam geguritan agama, penulis biasanya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Bali Kuno yang sarat dengan makna filosofis.

Contohnya adalah geguritan “Sutasoma”. Geguritan ini bercerita tentang kehendak seorang putra raja yang ingin menjadi bhiksu (orang yang hidup sebagai biksu) dan menemukan jalan hidup penuh kedamaian dan ketenangan. Pesan moral dari geguritan ini adalah cara hidup yang baik dan benar menurut agama Hindu.

Geguritan Sejarah

Geguritan sejarah merupakan jenis geguritan yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam geguritan sejarah, penulis biasanya menggunakan bahasa Bali Kuno, terutama dalam bentuk pantun (sirikan) yang sarat dengan makna dan pesan moral.

Contohnya adalah geguritan “Babad Bali”. Geguritan ini menceritakan sejarah pulau Bali dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sana. Dalam geguritan ini terdapat pesan moral tentang pentingnya menjaga kebudayaan dan sejarah daerah.

Geguritan Jenaka

Geguritan jenaka, seperti namanya, adalah jenis geguritan yang berisi cerita lucu atau humor. Geguritan ini bertujuan untuk menghibur dan membuat orang tertawa. Bahasanya pun lebih mudah dipahami dan tidak terlalu sarat dengan makna filosofis seperti pada geguritan agama atau sejarah.

Contohnya adalah geguritan “Gemi Punggel”. Geguritan ini bercerita tentang seekor ayam jago yang tidak bisa bertarung dan lebih suka menghadap ke arah belakang. Cerita yang lucu ini bertujuan untuk memberikan hiburan dan terkadang juga pesan moral, seperti kesederhanaan adalah kunci kebahagiaan.

Itulah tiga jenis geguritan yang sering ditemui di Bali. Walaupun terdapat perbedaan jenis, kesemuanya memiliki keindahan dalam penyampaiannya dan membawa pesan moral yang penting. Geguritan tetap menjadi bagian dari warisan budaya Bali yang perlu dilestarikan dan diapresiasi.

Pengertian Geguritan dan Ciri-cirinya

Geguritan adalah bentuk puisi Jawa yang terdiri dari beberapa bait. Setiap bait dalam geguritan memiliki jumlah jumlah aksara yang sama. Karakteristik dari geguritan adalah penggunaan bahasa Jawa halus dan anggun serta penggunaan pantun Jawa sebagai bentuk kalimatnya. Ada beberapa ciri-ciri geguritan, di antaranya:

1. Mengandung nilai moral atau filosofi yang mendalam.

2. Menggunakan bahasa Jawa yang halus dan indah.

3. Terdiri dari beberapa bait yang jumlah aksaranya sama.

4. Menggunakan pantun Jawa sebagai bentuk kalimatnya.

5. Dalam geguritan memiliki kata pembuka dan kata penutup sehingga membentuk irama yang indah.

Struktur Geguritan

Geguritan terdiri dari beberapa unsur struktur yang harus terdapat dalam setiap geguritan. Unsur-unsur tersebut antara lain:

1. Teras / Gatras: bait awal yang berisi pengantar dan penjelasan tema dari geguritan.

2. Pupuh: aransemen dari bait-bait dalam geguritan.

3. Omben: bait akhir yang berisi penutup dan pesan moral dari geguritan.

4. Larik: baris yang terdiri atas beberapa aksara mengikuti jumlah aksara awalan atau wilangan dalam setiap baitnya.

5. Seki: satuan aksara yang terdiri dari lima sampai enam aksara dan berjumlah 4 atau 5 sekilas.

Jenis-jenis Geguritan

Berdasarkan tema dan isinya, geguritan dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Geguritan Pewarisan: berisi tentang nilai-nilai luhur dan mengajarkan cara hidup yang bijaksana.

2. Geguritan Asmarandana: berisi cerita cinta dan roman yang indah.

3. Geguritan Ramayana: berisi tentang kisah Ramayana, khususnya mengenai tokoh Rama dan Sinta.

4. Geguritan Mahabharata: berisi tentang kisah Mahabharata, terutama tentang tokoh Arjuna dan Krisna.

5. Geguritan Sunda: jenis geguritan yang berasal dari daerah Jawa Barat.

Contoh-contoh Geguritan

Berikut ini adalah beberapa contoh geguritan yang terkenal di Indonesia:

1. Kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma adalah salah satu geguritan karya Mpu Tantular. Geguritan ini berisi pesan moral tentang kesadaran dan kerendahan hati. Selain itu, Sutasoma juga mengajarkan tentang pentingnya menyadari akan kematian dan hidup dengan baik.

2. Geguritan Dalem Ing Bausastra Jawa

Geguritan ini ditulis oleh Mpu Prapanca dan menjadi bagian dari karya Sastrasalendra. Dalam geguritan ini, tertulis tentang kebesaran Kerajaan Majapahit dan juga tentang prinsip hidup yang baik.

3. Geguritan Padha Jaman Ana Ing Donya

Geguritan ini mengisahkan tentang kehidupan manusia yang berubah dalam setiap zaman. Meskipun zaman berubah, nilai-nilai kebaikan tetap sama.

Dari tiga contoh geguritan di atas, dapat dilihat bahwa tiap geguritan memiliki tema yang berbeda-beda namun tetap mengandung nilai moral yang berkualitas.

Tinggalkan komentar