Pengertian Aqiqah (Sejarah, Hukum, Waktu dan Tata Cara)

Secara umum pengertian aqiqah adalah ungkapan rasa syukur hamba kepada Allah yang telah memberikan karunia-Nya berupa kehadiran seorang anak.

Tak hanya menjadi tradisi, aqiqah adalah kewajiban bagi setiap umat muslim tanpa terkecuali dengan syarat tertentu.

Tentu saja kalian pernah menghadiri setidaknya satu kali acara aqiqah. Entah hanya menemani orang tua atau memang diundang secara langsung oleh yang punya acara.

Pada dasarnya hukum aqiqah adalah sunnah muakkad, dimana waktu pelaksanaannya lebih afdhol pada hari ketujuh setelah kelahiran.

Namun semua kembali pada tingkat kemampuan sebuah keluarga.

Jika dirasa belum sanggup mengakikahkan anak ketika masih bayi, maka dapat ditangguhkan hingga si keluarga mampu.

Meskipun hingga anak tersebut sudah beranjak dewasa. Karena menurut sebuah hadits setiap anak lahir dalam keadaan “tergadai”:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Artinya: “Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama’.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12).

Bagaimana pengertian aqiqah secara lebih luas lagi? Mari kita simak ulasannya lebih lanjut.


Sejarah Aqiqah Sebelum dan Sesudah Masa Jahiliyah


Aqiqah sesungguhnya sudah menjadi tradisi semenjak masa pra Islam, yaitu sejak zaman jahiliyah.

Kala itu pelaksanaan aqiqah memiliki tujuan yang berbeda dari tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Tradisi pemotongan hewan dahulunya tidak hanya untuk mengaqiqahkan bayi.

Namun bangsa Arab melakukannya untuk berbagai perayaan, mulai dari hal pemujaan hingga sebagai ekspresi dalam mengungkapkan rasa bahagia terhadap suatu peristiwa.

Salah satu peristiwa yang paling dinanti-nanti bangsa Arab jahiliyah adalah kelahiran bayi laki-laki. Apabila bayi laki-laki hadir maka baru diadakan aqiqah.

Tata cara pelaksanaannya hampir sama dengan aqiqah yang kita ketahui saat ini yaitu menyembelih hewan dan mencukur rambut anak.

Perbedaannya terdapat kebiasaan melumuri kepala anak dengan darah hewan yang disembelih.

Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:

كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ

Artinya: “Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za’faran.” (HR. Abu Daud no. 2843).

Tradisi melumuri kepala anak dengan darah hewan ini kemudian dilarang oleh Rasulullah.

Beliau memerintahkan untuk mengganti darah hewan dengan air bunga-bunga atau minyak wangi, hal tersebut lebih mulia tentunya.

Selain itu setelah Rasulullah SAW datang dan menyempurnakan tata cara ibadah aqiqah, anak perempuan pun juga harus diaqiqahkan berdasarkan syari’at Islam.

Dimana untuk anak laki-laki menyembelih dua ekor hewan sementara untuk anak perempuan cukup satu ekor saja.


Pengertian Aqiqah


Secara bahasa kata Aqiqah berasal dari kata ‘aqqu (عَقُّ) yang artinya “potong”, yang memiliki dua maksud yakni menyembelih hewan dan mencukur rambut anak yang diaqiqah.

Beberapa pakar menjelaskan bahwa aqiqah sendiri merupakan nama bagi hewan yang akan disembelih atau dipotong.

Selanjutnya pengertian aqiqah menurut tuntunan agama adalah proses penyembelihan hewan dalam rangka mensyukuri kelahiran seorang anak, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan.

Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mengharap keridhaan Allah SWT.

Al-Jauhari, salah satu ulama Ahlusunnah, menambahkan pengertian aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya, dan mencukur rambutnya.

Artinya yaitu menyembelih hewan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi disertai dengan memotong sebagian rambut si bayi tersebut.

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan akikah sebenarnya? Haruskah dilaksanakan pada saat si anak berumur tujuh hari menurut hadits riwayat Abu Daud di atas?


Waktu Pelaksanaan Aqiqah


قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـعَـقِـيْقَتةُ تُـذْبَحُ لِسَـبْعٍ وَلِأَرْبَعَ عَشَرَةَ وَلِإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ

Artinya: “Kata Abu Hurairah R.A., Nabi (Muhammad) SAW bersabda, “Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau keduapuluh satunya”.” (HR. Baihaqi dan Thabrani).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya melaksanakan aqiqah untuk anak hukumnya sunnah muakkad.

Dimana dalam sebuah hadits dianjurkan untuk menunaikannya pada hari ketujuh dari kelahiran:

Namun, dalam kondisi tertentu tidak semua orang mampu melaksanakannya saat si anak berumur tujuh hari.

Alasannya mungkin beragam, terutama terkait kondisi ekonomi yang mungkin belum memadai untuk membeli dan menyembelih hewan.

Islam adalah agama yang tidak pernah memberatkan umatnya.

Aqiqah boleh dilaksanakan di kala sudah mampu, dimana biaya sudah mencukupi dan terpenuhi untuk membeli satu atau dua ekor kambing.

Kewajiban aqiqah terhadap anak sejatinya menjadi tanggung jawab kedua orang tua.

Namun apabila sampai dewasa orang tua belum juga mampu menunaikannya, maka setelah dewasa si anak diperbolehkan menyembelih hewan untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri.

Bahkan sebuah riwayat menyebutkan jika Nabi Muhammad SAW mengaqiqahi diri sendiri saat Beliau sudah menginjak usia dewasa.

Jika anda sebagai orang tua mampu menunaikan aqiqah anak pada hari ketujuh, maka segerakanlah jangan menunda-nunda.

Jika tidak sempat hari ketujuh, maka pada hari ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran si bayi.


Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah


Tidak ada perbedaan khusus dalam tata acara pelaksanaan aqiqah anak laki-laki maupun perempuan.

Yang membedakan hanyalah jumlah hewan yang disembelih, laki-laki dua ekor dan perempuan satu ekor.

Menyembelih Kambing

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ

Artinya: “Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk mengaqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing”.” (HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725).

Saat menyembelih hewan aqiqah disunnahkan membaca doa berikut ini (dimana penyebutan “fulan” diganti dengan nama anak yang diaqiqah):

بِسْمِ اللهِ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَن

Kambing yang digunakan untuk aqiqah tidak boleh sembarang usia. Persyaratannya sama dengan persyaratan kambing qurban, baik dari segi usia, jenis, dan bebas dari cacat.

Beberapa sumber menyebutkan jika hewan yang digunakan untuk aqiqah dianjurkan kambing jantan.

Kini banyak pihak yang menyediakan jasa aqiqah dan mengatur persoalan persiapan hewan sembelihnya.

Ada pula yang memilih alternatif membeli kambing dalam bentuk jadi atau sudah dimasak, untuk dihidangkan pada acara aqiqah.

Memasak dan Membagikan Daging Aqiqah

Daging aqiqah dapat dibagikan setelah dimasak atau langsung membagikannya setelah disembelih seperti daging qurban.

Namun di negeri kita kebanyakan hewan aqiqah setelah dipotong dimasak terlebih dahulu baru kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak.

Daging yang sudah dimasak bisanya disantap saat pesta aqiqah atau juga dibawa pulang oleh para tamu yang diundang.

Pembagiannya juga sama dengan daging qurban, sebagian boleh dimakan oleh keluarga sebagiannya lagi dibagikan kepada fakir miskin dan tetangga.

Jika pihak yang mengadakan aqiqah ingin membagikan seluruh daging tersebut tanpa tersisa, hal itu pun tidak ada larangannya.

Namun, disunnahkan keluarga yang mengadakan aqiqah untuk ikut merasakan daging hewan yang disembelih sebanyak sepertiga dari jumlah daging yang ada.

Mencukur Rambut

عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى

Artinya: “Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah beraqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)“.” (HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588).

Disunnahkan mencukur rambut bayi dan memberikan nama pada saat proses aqiqah berlangsung.

Nama yang diberikan sebaiknya mengandung makna yang baik, yang mencerminkan akhlak dan iman kepada Allah SWT.

Pesta aqiqah juga dilakukan layaknya pesta pernikahan namun dalam skala yang lebih kecil.

Dalam prosesnya tujuan dari acara aqiqah adalah mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia (anak) yang telah diberikan-Nya.

Tak hanya mencukur rambut dan memberikan nama, proses aqiqah juga disertai dengan adzan dan iqamah.

Hal ini disunnahkan karena mengikuti sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasullah SAW ketika beliau membacakan adzan di telinga Hasan dan Husein saat keduanya dilahirkan.

Mendoakan Anak yang Diaqiqah

Terakhir dalam mengharap keridhaan Allah jangan pula mendoakan anak yang diaqiqah.

Semoga dengan mengadakan aqiqah si anak tersebut tumbuh menjadi manusia yang selalu berbakti kepada agama, orang tua, dan bangsanya.

Berikut bacaan doa aqiqah yang sebaiknya dipanjatkan:

اللهم احْفَظْهُ مِنْ شَرِّالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَأُمِّ الصِّبْيَانِ وَمِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَالْعِصْيَانِ وَاحْرِسْهُ بِحَضَانَتِكَ وَكَفَالَتِكَ الْمَحْمُوْدَةِ وَبِدَوَامِ عِنَايَتِكَ وَرِعَايَتِكَ أَلنَّافِذَةِ نُقَدِّمُ بِهَا عَلَى الْقِيَامِ بِمَا كَلَّفْتَنَا مِنْ حُقُوْقِ رُبُوْبِيَّتِكَ الْكَرِيْمَةِ نَدَبْتَنَا إِلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَلْقِكَ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَأَطْيَبُ مَا فَضَّلْتَنَا مِنَ الْأَرْزَاقِ اللهم اجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَأَهْلِ الْخَيْرِ وَأَهْلِ الْقُرْآنِ وَلَا تَجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الشَّرِ وَالضَّيْرِ وَ الظُّلْمِ وَالطُّغْيَانِ

Artinya: “Ya Allah, jagalah dia (bayi) dari kejelekan jin, manusia ummi shibyan, serta segala kejelekan dan maksiat. Jagalah dia dengan penjagaan dan tanggungan-Mu yang terpuji, dengan perawatan dan perlindunganmu yang lestari. Dengan hal tersebut aku mampu melaksanakan apa yang Kau bebankan padaku, dari hak-hak ketuhanan yang mulia. Hiasi dia dengan apa yang ada diantara kami dan makhluk-Mu, yakni akhlak mulia dan anugerah yang paling indah. Ya Allah, jadikan kami dan mereka sebagai ahli ilmu, ahli kebaikan, dan ahli Al-Qur’an. Jangan kau jadikan kami dan mereka sebagai ahli kejelekan, keburukan, aniaya, dan tercela.”

Menilik hadist mengenai status tergadai yang melekat pada seorang anak yang baru lahir.

Timbullah beberapa pertanyaan, salah satunya bagaimana hukum aqiqah bagi anak yang meninggal dunia sebelum diaqiqahkan?

Beberapa ulama memberikan pendapat yang berbeda dalam menggapai hal ini.

Mazhab Syafi’i menganjurkan untuk tetap melakukan aqiqah meskipun ia meninggal sebelum hari ketujuh, hari disunnahkannya untuk melaksanakan aqiqah,

Jumhur ulama berpendapat apabila seorang anak yang telah diaqiqah meninggal dunia, maka anak tersebut dapat memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya di akhirat kelak.


Demikian penjelasan mengenai pengertian aqiqah. Semoga tulisan ini menjadi informasi bermanfaat dan penuh berkah bagi kita semua. Wallahu A’lam ..

Originally posted 2021-08-10 08:22:18.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.