Motif tenunan kain Suku Sasak kini disukai oleh banyak pecinta fashion, terutama dari kalangan traveler. Kain tenun ini dijadikan sebagai pelengkap perjalanan oleh wisatawan, sebagai ikat kepala, selimut etnik, hingga sebagai OOTD (outfit of the day) untuk tempat wisata tertentu seperti pantai.
Kain ini banyak kita jumpai di Lombok, Nusa Tenggara Barat, karena memang rumah produksinya ada disana. Siapa yang sudah pernah mengunjungi Lombok tak sah rasanya bila kembali tanpa membawa buah tangan kain tenun ini.
Kain tenun ini merupakan salah satu ciri khas hasil karya dari Suku Sasak. Suku asli yang mendiami Pulau Lombok sejak dahulu kala. Konon katanya, wanita Sasak belum dikatakan dewasa dan siap menikah jika belum bisa membuat kain tenun baik.
Benarkah begitu? Mari kita kupas lebih lanjut mengenai sejarah, budaya, adat istiadat, dan hal lainnya terkait suku Sasak.
Baca Juga : Suku Dayak
Mengenal Suku Sasak
Tentu tidak yang tidak kenal dengan Pulau Lombok yang letaknya bersebelahan dengan Pulau Dewata ini dong. Lombok dapat dikategorikan sebagai surga dunia karena memiliki keindahan alam yang sangat eksotis, seperti pantai.
Seperti Bali, pantai-pantai di Lombok tak kalah menawan bahkan bisa dibilang lebih menarik karena masih asri. Setiap wisatawan yang pernah berkunjung ke Lombok pasti ingin kembali dan kembali lagi.
Selain karena belum puas mengelilingi isi Pulau Lombok, pulau yang terletak di sebelah timur Bali ini juga bersebelahan dengan Pulau Sumbawa. Seperti yang kita ketahui bersama Sumbawa adalah gudangnya keindahan alam, terutama bentang perbukitannya.
Di sebelah timur Lombok dan Bali dipisahkan oleh Selat Lombok sedangkan di sebelah barat Lombok dan Sumbawa dipisahkan oleh Selat Atas. Terletak di tengah-tengah menjadikan Lombok sebagai destinasi wisata yang strategis, dengan mudah bisa menyeberang ke Bali atau ke Sumbawa dalam waktu sekejap.
Tak hanya menyuguhkan keindahan pantainya yang berpasir putih, destinasi wisata di Lombok juga dihiasi oleh budaya suku Sasak yang unik. Suku ini banyak bermukim di Desa Sade, Kabupaten Lombok Tengah, tidak jauh dari bandara dan pusat kota Mataram.
Diperkirakan suku Sasak telah menjadi penghuni asli Pulau Lombok sejak 4.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Tercatat secara keseluruhan jumlah populasi orang Sasak yang di Lombok adalah 1,8 juta penduduk.
Dalam budayanya suku Lombok dikepalai oleh seorang pemimpin adat yang disebut “Mangkubumi” atau “Jintaka”. Setiap pemangku adat ini biasanya juga bertugas sekaligus sebagai kepala desa yang dibantu oleh krama desa (tokoh-tokoh masyarakat di setiap desa).
Secara birokrasi jajaran kepada desa terdiri dari jaksa (juru tulis), keliang (penghubung), langkang (kepala keamanan), dan wakil keliang (juarah).
Dalam sistem sosial suku Dayak masih kental adanya pelapisan masyarakat. Terdiri dari golongan bangsawan (menak), orang terpandang (parawangsa), dan terakhir adalah golongan orang kebanyakan.
Sejarah Suku Sasak
Sejarah mengatakan jika suku Sasak telah mendiami Pulau Lombok selama berabad-abad. Sebagian berpendapat jika suku ini merupakan keturunan orang Jawa, ada pula yang mengatakan hasil perkawinan silang antara penduduk lokal.
Menurut legenda, nenek moyang orang Sasak datang ke Lombok dengan menggunakan sampan dari arah Jawa. Sasak berasal dari kata sak-sak yang berarti “sampan”, namun dalam kitab Negara Kertagama kata sasak berarti “satu” dengan pulau Lombok.
Seorang ilmuwan mengeluarkan pendapat yang berarti, dimana Sasak berasa dari kata sah yang berarti “pergi” atau Shaka yang berarti “leluhur”. Dari kata Shaka ini dijumpai makna secara istilah Sasak arti nya “pergi ke tanah leluhur”.
Pengertian tersebut semakin memperkuat teori bahwa nenek moyang suku Sasak berasal dari orang Jawa. Selain itu bahasa Sasak hampir mirip dengan aksara bahasa Jawa-Bali. Hanya saja berbeda dalam logat pengucapannya, dimana bahasa Sasak lebih mirip bahasa Bali.
Bukti lain yang memperkuat teori bahwa suku Sasak keturunan orang Jawa yaitu kesamaan budaya yang dimiliki. Salah satu bukti adanya pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa yang datang silih berganti ingin menguasai Pulau Lombok.
Berdasarkan sejarah kerajaan, sejak Kerajaan Mataram Kuno dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan banyak orang Jawa yang berimigrasi ke Lombok. Mereka menetap lama sehingga terjadilah perkawinan campuran antara orang Jawa dan Lombok yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya suku Sasak.
Berbagai peperangan perebutan kekuasaan terjadi, baik dari serangan dari internal maupun dari kerajaan lain di luar Lombok. Kerajaan Majapahit sempat menguasai Lombok pada masa kejayaannya di bawah pimpinan Patih Gadjah Mada (kisaran abad 14-15 M).
Kala itu banyak dari orang Lombok yang semerta-merta menganut agama Hindu. Selepas kepergian Patih Gadjah Mada dan Hayam Wuruk kekuasaan Majapahit melemah hingga kerajaan ini berhasil dipukul mundur oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Adat Istiadat di Lombok
Bermula dari serangan yang dipimpin oleh Raden Fatah, Majapahit menyatakan kehancurannya. Saat itu pula agama Islam mulai masuk ke Pulau Lombok. Berkat bantuan para wali ajaran Islam berhasil ditanamkan secara signifikan di pulau ini.
Islam seolah-olah sudah menjadi bagian dari budaya di Lombok. Mayoritas 90% suku Sasak menganut agama Islam. Berdasarkan sejarah di atas tidak heran banyak dari suku Sasak yang kini memeluk agama Islam. Bahkan nuansa Islami di Pulau Lombok terasa sangat kental, dimana pulau ini juga dijuluki sebagai “Kota Seribu Masjid”.
Tentu saja mayoritas kebudayaan Pulau Lombok dikuasai oleh adat istiadat suku Sasak. Bahkan hingga kini masyarakat setempat masih memegang tradisi-tradisi yang telah diwariskan para leluhur.
Rumah Bale
Jika ingin menyaksikan secara langsung keindahan budaya suku Sasak maka kamu bisa berkunjung ke Desa Sade di Lombok Tengah. Disini kamu dapat menyaksikan bangunan rumah sederhana khas suku Sasak yang disebut Bale.
Berdasarkan fungsinya Bale terbagi menjadi tiga jenis:
a) Bale Bonter, rumah yang berfungsi sebagai tempat hunian para pejabat.
b) Bale Kodong, rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal pengantin baru atau lansia yang ingin menghabiskan masa tuanya.
c) Bale Tani, rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga yang sudah beranak pinak atau memilik keturunan.
Keunikan dari rumah ini yaitu memiliki lumbung padi yang merupakan bentuk mini dari Bale. Sama seperti suku Minangkabau, lumbung padi ini berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen. Atap lumbung terbuat dari ijuk dan beralaskan tanah liat bercampur sekam padi.
Penculikan Pengantin Wanita
Selain rumah Bale suku Sasak memiliki tradisi unik lainnya yaitu usia minimal anak perempuan menikah 14 tahun dan anak laki-laki 19 tahun. Tentu saja dibandingkan dengan tradisi modern saat ini anak laki-laki berusia 19 masih dianggap baru saja menetas.
Namun bagi suku Sasak, khususnya di Desa Sade menikah muda merupakan tradisi adat demi menghindari pergaulan yang tidak diharapkan di kemudian hari.
Ada istilah calon pengantin wanita “diculik” oleh mempelai laki-laki. Artinya apabila wanita ini diculik maka martabatnya sangat tinggi di mata adat, dengan kata lain ia benar-benar sangat berharga dan diharapkan menjadi menantu oleh keluarga laki-laki.
Pada praktiknya calon pengantin wanita ini hanya menginap di rumah kerabatnya namun tidak boleh bertemu orang tua dan saudaranya selama masa penculikan. Dalam adat istiadat Sasak wanita yang tidak diculik justru terkesan tidak baik dan sebenarnya tidak terlalu diharapkan dijadikan menantu.
Nah, begitulah kira-kira keunikan tradisi dan adat istiadat yang ada di Lombok. Jangan dibayangkan diculik dalam konotasi negatif ya, melainkan tradisi penculikan calon pengantin wanita ini menandakan betapa berharganya si anak perempuan tersebut bagi keluarganya.
Originally posted 2020-05-20 14:00:59.