Rumah Adat Yogyakarta | Rumah Tradisional yang Istimewa

Rumah Adat Yogyakarta – Rumah adat Yogyakarta disebut dengan Joglo. Sebenarnya rumah tradisional khas Suku Jawa ada banyak macamnya. Ada rumah Joglo, panggung pe, kampung, limasan, dan Tajug.

Rumah-rumah demikian tidak hanya ditemukan di Yogjakarta, tapi juga di daerah lain yang tentunya terdapat Suku Jawa.


Rumah Adat Yogyakarta


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beribu kota di Kota Yogyakarta. Wilayahnya memiliki luas total sekitar 3.185,80 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 3.842.952 jiwa.

Etnis atau suku bangsa yang mendiami wilayah Yogyakarta, diantaranya Suku Jawa, Sunda, Melayu, Tionghoa, Batak, Madura, Minangkabau, dan lainnya.

Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah paling dominan yang digunakan di Yogyakarta selain Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Selain itu penggunaan bahasa asing juga ditemukan di Jogja karena daerah ini memang daerah pariwisata.

Salah satu daya tarik wisata adalah budaya serta peninggalan sejarah yang ada disini. termasuk juga rumah adat Yogyakarta.

Menurut Narpawandawa, bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yakni panggung pe, kampung, limasan, joglo, serta tajug. Jenis-jenis tersebut dalam perkembangannya kemudian menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat orang Jawa.

Model atau bentuk rumah panggung pe dalam perkembangannya menjadi rumah panggung pe, gedog selirang, gedog setangkep, cere gancet, empyak setangkep, trajumas, barongan, dan masih banyak lagi.

Lain lagi dengan omah kampung yang berkembang menjadi pacul gowang, srontong, daragepak, klabang nyander, lambang teplok, lambang teplok semar tinandhu, gajah jerum , dan masih banyak lagi.

Bangunan rumah limasan berkembang menjadi bentuk rumah limasan lawakan, gajah ngombe, gajah jerum, klabag nyonder, macan jerum, trajrumas, trajumas lawakan, apitan, pacul gowang, rambang gantung, lambangsari, sinom lambang gantung rangka usuk ngambang dan sebagainya. Sedang joglo juga berkembang menjadi beberapa rumah joglo lainnya.

Rumah Bangsal Kencono

Bangsal Kencono merupakan hunian atau tempat tinggal dari raja Ngayogyakarto Hadiningrat dari dulu hingga kini. Dulu rumah Bangsal Kencono ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan menjadi hunia bagia keluarga kerajaan.

Atapnya memiliki bubungan tinggi yang bertopang pada empat tiang dan dibagian tengahnya terdapat tiang utama yang disebut soko guru.

Material atap terbuat dari bahan sirap atau genting tanah. Adapun untuk bagian tiang dan dinding disusun dari material kayu yang berkualitas.

Tiang biasanya di cat dengan warna hijau gelap atau hitam dan dibawahnya terdapat umpak batu berwarna hitam dengan corak keemasan.

Sementara lantainya terbuat dari bahan marmer serta granit yang dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah di sekitarnya.

Rumah Joglo Para Abdi Dalem Keraton

Dulunya para abdi dalem keraton, terutama mereka yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan kesultanan yogyakarta memiliki rumah joglo yang terbilang besar. Rata-rata rumah jolo mereka berada di area jeron beteng (di dalam wilayah 4 benteng).

Susunan ruangannya sama dengan rumah joglo pada umumnya. Ada Senthong kiwo, sentong tengah, senthong tengen, ndalem (rumah pokok) pringgitan atau paringgitan, gandhok kulon, gandhok wetan, dan pendhapa.

Bagian luar rumah ada ngemper (teras) wetan dan kulon serta njogan (halaman) ngarep (depan) dan mburi (belakang).

Area senthong biasanya digunakan untuk menyimpan harta serta benda-benda pusaka, seperti keris, tombak dan sebagainya.

Ndalem sebagai rumah pokok biasa dijadikan tempat tidur seluruh keluarga. Bagian ini terdapat pringgitan dan pendhopo.

Ndalem merupakan ruangan yang paling luas dari rumah joglo. Pendhopo biasa digunakan sebagai pelaminan bila ada acara hajatan perkawinan.

Sedangkan paringgitan biasanya lebih luas lagi karena terkadang digunakan untuk menggelar acara wayangan. Baik acara wayang kulit maupun ringgit cucal digelar di paringgitan karena itu dinamakan paringgitan.

Saat ada tamu berkunjung biasanya terutama yang mempunyai hubungan dekat entah itu sesama abdi dalem, maupun kerabat akan dijamu di gandhok. Di gandok terdapat sebuah panggung kecil yang terbuat dari kayu jati sebagai tempat duduk lesehan.

Fungsi gandhok kurang lebih sama dengan fungsi bale-bale pada rumah adat Jakarta dari masyaratak Betawi. Bisa sebagai tempat menerima tamu, maupaun sebagai tempat bersantai keluarga. Bila ingin tahu lebih lanjut tentang bale-bale bisa baca artikel di https://catatanbelajar.id/ilmu-sosial/rumah-adat-dki-jakarta/

Rumah Tradisional Kota Gede

rumah adat yogyakarta
JogjaLand.net

Dahulu Kotagedhe merupakan saerah pusat pemerintahan dari Kasultanan Mataram sebelum terpecah menjadi dua wilayah.

Bila berkunjung ke Kotagedhe kita masih bisa melihat peninggalan-peninggalan sejarah dari pemerintahan Kasultanan Mataram.

Ada kompleks makam Pasarean Mataram serta Masjid Besar Mataram yang keduanya berada di lokasi yang sama. Lalu ada pasar legi dengan bangunan pasar yang masih kuno, serta komplek perumahan kuno dengan deretan rumah kuno bernilai sejarah tinggi khas Jawa.

Di Kotagedhe rumah-rumah tradisionalnya dapat dibedakan menjadi dua jenis dilihat dari gaya arsitekturnya, yakni rumah kalang atau sudagaran dan rumah tradisional Jawa.

Contoh rumah sudagaran adalah Proyodranan serta Ansor Silver. Sedangkan rumah tradisional Jawa adalah sopingen yang ada di between two gates.

Dulu rumah Kalang merupakan rumah yang didirikan oleh para saudagar kelompok Kalang yang terkenal kaya raya. Mereka tidak membangun rumah tradisional khas Jawa karena ada tatanan sosial yang tidak memungkinkan mereka untuk membangun rumah Jawa.

Mereka akhirnya memilih gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan budaya dan alam sekitar. Ciri khas dari rumah Kalang, antara lain tiang yang bergaya Corinthia Romawi, hiasa kaca warna-warni, tegel bermotif, serta jendela dan pintu yang berukuran besar. Unsur tradisional yang dimasukkan adalah susunan bilik seperti senthong, gandhok, dapur, kamar mandi, dan sumur.

Lain halnya dengan sopingen di Between Two Gates. Di komplek perumahan ini banyak rumah-rumah tradisional Jawa dengan pintu-pintu yang rendah. Pada komplek perumahan ini setidaknya terdapat 9 rumah tradisional.

Kenapa kampung terssebut disebut Two Gates? Hal itu dikarenakan rumah-rumah disana dibangun berjajar dari timur ke barat dan saling berhadapan utara dan selatan. Deretan rumah tersbut dipisahkan oleh lorong atau jalan sempit yang menghubungkan dua gerbang (two gates).

Rumah Tradisional Miji Yuwono

Letaknya berada di Dusun Kweden, Kelurahan Trirenggo, Bantul. Bangunan ini sudah ada bahkan sebelum tahun 1945 dan sempat berfungsi sebagai gudang logistik saat perang kemerdekaan. Wiji Yuwono merupakan nama pemilik rumah kedua.

Sebelumnya rumah ini dibangun oleh Pawiro Sentono yang merupakan seorang kusir gerobak. Bangunannya memiliki model joglo yang terdiri atas pendhopo, pringgitan, ndalem, serta gandhok. Bagian pendhopo rumah ini menggunakan material kayu jati berkualitas tinggi dan merupakan bangunan terbuka.

Pemasangan usuk dengan model ri gereh (tulang ikan), yakni usuk langsung bertumpu pada blandar tumpangsari yang ditopang oleh empat soko guru. Bagian penutup brunjung atau uleng bagian tengahnya terdapat dodo peksi dengan hiasan ukiran yang bagus.

Keunikan joglo ini adalah bentuk konsul model bahu danyang seperti yang terdapat dibangunan joglo di Kotagedhe. Lantainya asli menggunakan material tegel.

Bagian belakang pendopho merupakan bangunan ndalem dengan dinding tembok dan bagian timurnya terdapat gandhok.

Itulah ulasan tentang beberapa rumah tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang tak hanya menyimpan seribu kenangan dan cerita, tapi juga kaya akan budaya dan sejarah Indonesia.

Keywords: Rumah Adat Yogyakarta

Originally posted 2020-04-29 09:02:12.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.