Masyarakat Jawa dikenal dengan ngelmu titen, yaitu kebiasaan untuk menafsirkan berbagai hal melalui tanda-tanda yang ada.
Sebagai masyarakat berkultur pertanian, ngelmu titen juga digunakan untuk memahami kapan petani dapat beraktivitas mulai dari menebar benih padi hingga memanennya.
Mereka mempunyai sistem penanggalan khusus pertanian yang disebut sebagai pranata mangsa (ketentuan musim).
Sistem penanggalan ini didasarkan pada siklus peredaran matahari sehingga penanggalan ini memiliki periode yang sama dengan kalender tahunan.
Bedanya, pranata mangsa tidak berangka dan bernama hari atau bulan seperti kalender pada umumnya. Akan tetapi, pranata mangsa menggunakan candraning mangsa atau fenomena yang biasanya terjadi pada mangsa/musim tertentu.
Hal ini tentu beralasan, mengingat masyarakat Jawa dahulu pada umumnya tidak terlalu mempedulikan bilangan.
Ada dua versi perhitungan pranata mangsa. Pertama adalah versi Kasunanan yang biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar Gunung Merapi dan Gunung Lawu.
Berdasarkan versi ini, mangsa dalam satu tahun dibagi menjadi 4, yaitu (1) mangsa katiga yang berjumlah 88 hari, (2) mangsa labuh yang berjumlah 95 hari, (3) mangsa rendheng yang berjumlah 94 hari, dan (4) mangsa mareng yang berjumlah 88 hari.
Versi kedua lebih umum, yakni dengan mengaitkan perilaku hewan, perubahan pada tanaman, fenomena alam sekitar dengan praktik yang akan dilakukan dalam kultur agraris atau pertanian.
Berdasarkan hal ini, mangsa juga dibagi menjadi 4 musim utama namun disisipkan 2 musim penyela, yaitu sebagai berikut. (1) mangsa terang yang berjumlah 82 hari, (2) mangsa semplah yang berjumlah 99 hari dengan mangsa paceklik selama 23 hari pertama.
(3) mangsa udan yang berjumlah 86 hari, dan (4) mangsa pangarep-arep yang berjumlah 98 hari dengan mangsa panen pada 23 hari terakhir.
Selain pembagian ke dalam 4 musim, pranata mangsa juga dibagi lebih rinci menjadi 12 musim yang dilengkapi dengan posisinya di dalam mangsa utama.
Candra atau istilah yang digunakan untuk menyebut mangsanya, penciri atau hal-hal yang biasanya terjadi pada mangsa tersebut, dan tuntunan bagi para petani.
Pranata Mangsa
Berikut merupakan penjabaran rinci mengenai 12 mangsa tersebut.
1. Mangsa Kasa (Kartika)
Mangsa ini terjadi pada mangsa katiga-terang. Mangsa kasa memiliki candra sesotya murca saka ngembanan. Secara literal, candra ini berarti mutiara yang terlepas dari kerangkanya.
Hal ini menandakan musim yang mana terjadi fenomena daun-daun berguguran, tumbuh-tumbuhan mulai meranggas, dan sejenis belalang mulai masuk ke dalam tanah.
Pada masa ini, para petani mulai membakar jerami sisa panen yang masih tertinggal di sawah dan mereka mulai menanam palawija, seperti jagung. Jumlah mangsa ini sekitar 41 hari.
2. Mangsa Karo (Pusa)
Mangsa ini ditandai dengan candra bantala rengka dan terjadi pada mangsa katiga-paceklik. Bantala rengka berarti tanah-tanah yang retak.
Biasanya, pada mangsa ini tanah-tanah mulai nela (retak) karena kekeringan sehingga apabila berkepanjangan, dapat menyebabkan musim paceklik (larang pangan/bahan pangan mahal).
Musim ini dicirikan dengan tumbuhan kapok atau randu yang mulai bertunas. Mangsa ini berlangsung sekitar 23 hari.
3. Mangsa Katelu (Manggasri)
Mangsa yang berjumlah 24 hari ini diibaratkan seperti suta manut ing bapa, yaitu mulai berakhirnya mangsa katiga-semplah. Pada mangsa ini, lahan-lahan tidak ditanami karena kondisi cuaca yang sangat panas.
Palawija yang telah ditanam mulai dipanen dan berbagai jenis bambu mulai bertunas.
Pada musim ini, umbi-umbian juga mulai bertunas sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan cadangan sampai mangsa ini berakhir.
4. Mangsa Kapat (Sitra)
Pada mangsa ini, sawah-sawah belum ditanami karena masih peralihan dari mangsa katiga ke mangsa labuh. Biasanya, pada mangsa ini para petani baru menggarap sawah.
Fenomena alam yang terjadi pada mangsa ini adalah mulai berbuahnya pohon kapuk randu dan burung-burung kecil mulai bertelur.
Mangsa ini diibaratkan sebagai waspa kumembering jroning kalbu (air mata yang penuh di dalam hati).
Candra ini bermakna bahwa sumber-sumber mata air mulai mengering sebagai pertanda mangsa labuh. Mangsa ini berlangung sekitar 25 hari.
5. Mangsa Kalima (Manggala)
Mangsa kalima menjadi pertanda bahwa sudah saatnya petani harus menggarap sawah.
Pada mangsa ini, hujan mulai turun sehingga saluran irigasi di sawah mulai diperbaiki. Mangsa ini terjadi selama sekitar 27 hari.
Fenomena alam yang biasanya terjadi bersamaan dengan mangsa ini adalah munculnya tunas-tunas muda pohon asam dan ulat-ulat mulai bermunculan.
Candra yang digunakan untuk mangsa ini adalah pancuran emas sumawur ing jagad yang bermakna bahwa pancuran emas (sumber air) memancar ke seluruh alam.
6. Mangsa Kanem (Naya)
Setelah mangsa kalima berakhir, dimulailah mangsa kanem yang akan berlangsung selama sekitar 43 hari.
Pada mangsa kanem, para petani mulai menebar benih di lahan khusus pembenihan, biasanya lahan yang digunakan adalah lahan yang dekat dengan saluran air.
Pada mangsa yang diibaratkan sebagai rasa mulya kasucian ini, biasanya ditandai dengan banyaknya buah-buahan manis yang siap dipetik, seperti durian, rambutan, dan manggis.
Selain itu, burung belibis pun mula terlihat di sekitar tempat-tempat berair.
7. Mangsa Kapitu (Palguna)
Mangsa kapitu yang berlangsung selama sekitar 43 hari diibaratkan bagai wisa kintir ing maruta yang bermakna “racun yang hanyut bersama angin”.
Hal ini menandakan bahwa pada mangsa kapitu, berbagai penyakit bermunculan dan orang-orang mulai jatuh sakit.
Fenomena alam yang terjadi antara lain sering hujan dan banjir, badai, dan tanah mulai longsor.
8. Mangsa Kawolu (Wisaka)
Mangsa kawolu terjadi pada saat rendheng-pangarep arep dan berlangsung sekitar 26 hari.
Pada mangsa ini, padi-padi mulai menghijau dan ulat-ulat mulai bermunculan, serta dimulainya musim kucing kawin sehingga mangsa ini diibaratkan sebagai anjrah jroning kayun (merata dalam segala ingin).
Para petani banyak berharap-harap agar selepas masa ini berakhir, tanaman mereka menghasilkan panen yang banyak dan tidak terkena penyakit.
9. Mangsa Kasanga (Jita)
Awal permulaan mangsa kasanga ditandai dengan wedharing wacana mulya atau mulai keluarnya bunyi-bunyian yang indah.
Pada mangsa ini, hewan-hewan seperti garengpung, gangsir, dan jangkrik mulai muncul dan mengeluarkan bunyi-bunyian.
Mangsa ini juga menandai padi-padian yang mulai berbunga dan sebagian juga sudah mulai berbuah. Mangsa ini terjadi selama kurang lebih 25 hari.
10. Mangsa Kasepuluh (Srawana)
Mangsa kasepuluh ditandai dengan menguningnya padi, hewan-hewan yang sudah mulai hamil, dan telur-telur burung mulai menetas.
Candra yang digunakan untuk mangsa ini adalah gedong minep jroning kalbu yang bermakna bahwa mangsa kasepuluh adalah masa yang mana para makhluk hidup mulai hamil/berisi.
Mangsa ini berlangsung sekitar 24 hari.
11. Mangsa Desta (Padrawana)
Setelah berakhirnya mangsa kasepuluh, dimulailah mangsa desta yang menjadi penanda dimulainya musim panen padi.
Candra yang digunakan pada mangsa ini adalah sotya sinara wedi yang mana para burung mulai menyuapi anak-anaknya.
Pada masa yang berlangsung selama 23 hari inilah, mangsa mareng dimulai.
12. Mangsa Sada (Asuji)
Mangsa sada menjadi mangsa terakhir dalam pranata mangsa. Mangsa ini diibaratkan seperti tirta sah saking sasana (air yang menghilang dari tempatnya).
Pada mangsa ini, orang-orang jarang berkeringat karena cuacanya yang dingin. Hal ini menandakan berakhirnya mangsa mareng.
Mangsa yang berlangsung selama kurang lebih 41 hari ini dimanfaatkan oleh para petani untuk menjemur gabah (biji padi) dan menyimpannya di lumbung.
Demikian penjelasan dari 12 pranata mangsa. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, penanggalan tersebut semakin jarang digunakan oleh para petani karena kurang relevan.
Oleh karenanya, perlu pengkajian dan pemahaman ulang agar pranata mangsa tersebut tetap dapat berfungsi sebagai penanggalan tradisional dalam bidang agraris.
Originally posted 2020-12-25 02:33:03.