Suku Minangkabau – Sumatera Barat merupakan daerah dimana Buya Hamka, Bung Hatta, Chairil Anwar, Tuanku Imam Bonjol, serta berbagai tokoh sejarah lainnya berasal. Mereka memiliki peran masing-masing dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan pola pikir bangsa Indonesia.
Orang Padang begitulah singkatnya suku lain menyebut mereka yang berasal dari Sumatera Barat ini. Masyarakat yang hingga kini masih memegang erat adat istiadat dan kebudayaan yang diwariskan nenek moyang mereka.
Suku ini unggul dalam bidang pendidikan, agama, dan perdagangan. Banyak dari orang Padang yang kini menguasai pasar-pasar di tanah Jawa. Mulai dari Pulau Jawa ujung barat hingga pulau Jawa ujung timur pasti ada orang Minang nya.
Hal ini karena memang merantau sudah menjadi tradisi yang mendarah daging pada jiwa orang Minang.
Baca juga : Suku Toraja
Sejarah Singkat Suku Minangkabau
“Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”, itulah prinsip yang dijadikan pegangan hidup oleh orang Minang hingga kini. Artinya “adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an”. Hal ini mencerminkan bahwa adat yang dijalankan suku Minangkabau berlandaskan pada ajaran Islam.
Sejarah Menurut Legenda Masyarakat
Menurut cerita masyarakat, nama Minangkabau diambil dari sebuah legenda tentang adu kerbau Minang dan kerbau Jawa. Dimana Minang berarti “menang” dan Kabau berarti “kerbau”.
Dikisahkan pada abad ke-13 sempat akan terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan Majapahit dan masyarakat lokal di Minang. Untuk menghindari pertempuran tersebut maka diusulkan untuk mengadakan adu kerbau antara kerbau Minang dan kerbau Jawa.
Pihak Majapahit menyetujui usul tersebut dengan mempersiapkan kerbau berukuran besar dan agresif. Berbanding terbalik, masyarakat lokal justru menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dan dipasang pisau pada tanduknya.
Sontak saat pertandingan dimulai, anak kerbau Minang langsung menyeruduk perut kerbau Jawa berbadan besar karena kelaparan dan ingin menyusu. Kerbau Minang menyangka jika kerbau Jawa tersebut adalah ibunya.
Alhasil kerbau Jawa kalah dengan keadaan perut tercabik-cabik, dan masyarakat lokal meraih kemenangan sembari bersorak-sorak “manang kabau, manang kabau!!”. Sorakan tersebut adalah ungkapan kebahagiaan karena kerbau Minang menang, artinya “menang kerbau, menang kerbau”.
Sorak kegembiraan tersebut konon yang membuat masyarakat lokal disebut sebagai suku Minangkabau hingga kini.
Sejarah Menurut Cerita Kerajaan
Kisah tentang asal-usul tentang asal-usul Minangkabau cukup beragam. Ada pula yang menyebutkan kata Minangkabau merujuk pada sejenis senjata tajam atau pisau yang dipasang pada tanduk kerbau.
Namun sumber lain menyebutkan jauh sebelum adanya peristiwa adu kerbau tersebut, istilah Minangkabau sudah ada. Berasal dari kata “Minangkabwa”, “Minangakamwa”, “Minangatamwan”, dan “Phinangkabhu”.
Istilah-istilah tersebut didasarkan pada kondisi wilayah di daerah Minang kala itu. Minang artinya “sungai” dan kamwa atau kamba artinya “kembar”. Hal ini merujuk pada dua sungai kembar yang ada daerah Minang, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.
Dalam prasasti Kedukan Bukit disebutkan jika pendiri Kerajaan Sriwijaya yaitu Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan). Lokasi tersebut kini diberi nama sebagai daerah Kabupaten Lima Puluh Kota.
Sumber lain menyebutkan bahwa nenek moyang suku Minang berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain yang hidup pada kisaran abad ke-4 SM. Nenek moyang orang Minang berasal dari dua negeri, Maharaja Diraja dari Romawi dan Maharaja Dipang dari China.
Diperkirakan masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera kisaran 2.500-2000 tahun yang lalu.
Mereka masuk ke pulau Sumatera dari arah timur terus mengikuti aliran Sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi bernama Darek, yang menjadi asal muasal kampung halaman suku Minangkabau.
Kawasan Darek tersebut meliputi seluruh bagian Sumatera Tengah yang membentuk semacam konfederasi yang disebut sebagai Luhak (Kabupaten). Pada abad ke-14 dan ke-15 kawasan Darek dipecah menjadi tiga bagian, yang dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo.
Terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, kawasan luhak menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling. Dipimpin oleh orang asli dari suku Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Keunikan Budaya Suku Minangkabau
Awalnya orang Minang disebut sebagai orang Melayu. Namun sejak abad ke-19 kedua suku ini mulai dibedakan karena perbedaan budaya keturunan. Adat Minang menganut budaya matrilineal, dimana penetapan suku didasarkan pada garis keturunan Ibu.
Sedangkan ras Melayu menganut budaya patrilineal, didasarkan pada garis keturunan Ayah. Hingga terjadi pemisahan kelompok penyebutan orang Minang dan orang Melayu.
Di Minang perempuan memiliki peran penting dalam menentukan pengambilan keputusan dalam musyawarah kaum lelaki. Disini kaum lelaki bisa saja berperan sebagai anak, mamak (paman dari pihak Ibu), atau penghulu (kepala suku).
Seorang lelaki apabila menikahi gadis Minang, baik ia lelaki Minang atau berasal dari luar Minang, maka akan memperoleh gelar sebagai penentu pangkat dari pihak perempuan. Penentuan gelar ini dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Secara adat disebut sebagai istilah “duduak basamo”.
Budaya Matrilineal
Hingga kini masyarakat Minang masih memegang teguh prinsip budaya matrilineal. Uniknya satu-satunya suku di Indonesia yang menganut sistem matrilineal hanyalah Suku Minangkabau. Sehingga hal ini sudah menjadi identitas rakyat Minang.
Kaum perempuan di Minang memiliki kedudukan yang sangat istimewa disebut sebagai Bundo Kanduang. Jika gadis Minang sudah menikah, maka garis keturunan ditentukan oleh tali kekerabatan istri yang disebut Samande (se-ibu).
Sedangkan pihak suami atau Ayah disebut sebagai Sumando (ipar) yang diperlakukan layaknya tamu di dalam keluarga perempuan. Pengaruh perempuan yang cukup besar di Minang disimbolkan dalam bentuk pilar utama rumah gadang (Limpapeh Rumah Nan Gadang).
Apabila pilar tersebut rusak, maka hancur rumah dan seluruh isinya. Begitu maksud dari filosofi adat dan budaya menempatkan perempuan sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka di ranah Minang.
Harta pusaka adalah harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga secara turun temurun. Tidak dapat diperjualbelikan dan tidak boleh menjadi milik pribadi.
Harta pusaka adalah sejenis harta keluarga besar yang diturunkan kepada anak perempuan tertua untuk menjamin anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika salah satu anggota keluarga yang mengalami kesulitan, maka harta pusaka boleh digadaikan.
Dalam pembagian warisan pihak perempuan mendapat bagian yang lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini didasarkan kepada prinsip Limpapeh Rumah Nan Gadang tadi, dimana perempuan sebagai kaum lemah bertugas menjaga harta pusaka keluarganya.
Sedangkan lelaki dianggap sebagai kaum yang lebih kuat dan bisa mencari sumber penghasilan bagi keluarganya. Secara prinsip laki-laki ditugaskan mengelola dan mengembangkan harta kekayaan istrinya, jika bisa membentuk usaha baru dari hasil jerih payahnya sendiri.
Tidak menentang hukum waris yang diajarkan dalam agama Islam. Adat matrilineal ini justru didasarkan atas pemikiran apabila suatu saat seorang lelaki meninggalkan wanitanya maka maka wanita itu tidak rentan atau bergantung pada lelaki tersebut.
Budaya Merantau
Satu lagi keunikan dari adat Minang adalah budaya merantau. Seolah sudah mendarah daging, tradisi ini banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Karena di kampung halamannya tidak memperoleh warisan, maka laki-laki Minang merasa malu jika tidak merantau dan kembali membawa keberhasilan.
Jiwa merantau ini sudah tertanam sejak zaman dahulu kala. Dimana orang Minang zaman dahulu tak hanya merantau untuk mencari penghidupan, namun sekaligus menuntut ilmu di tempat yang baru. Tak heran banyak sekali tokoh-tokoh terpelajar Indonesia yang berasal dari Minang.
Tradisi merantau ini memberikan sensasi kerinduan yang luar biasa bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Di perantauan jika sesama orang Minang bertemu, maka tali persaudaraan antar mereka akan kuat seolah bertemu dengan saudara kandungnya.
Karena banyak yang merantau inilah maka muncul istilah “Urang Awak” diantara sesama perantau dari Minang.
Hingga kini Urang Awak banyak tersebar di seluruh penjuru Indonesia dengan berbagai profesi dan keahlian. Mulai dari pelajar, pengajar, penulis, politisi, ulama, jurnalis, hingga pedagang.
Bukti nyata eksistensi suku Minangkabau di Indonesia adalah keberadaan rumah makan Padang yang pasti kita temukan di setiap daerah. Tak hanya di Indonesia, menurut berita dari beberapa pelajar Minang yang studi di luar negeri, rumah makan Padang pun sudah sampai ke mancanegara.
Dalam pencapaiannya suku Minangkabau termasuk ke dalam suku tersukses di berbagai bidang. Tercatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting di Indonesia pada abad ke-20 berasal dari orang Minang, sumber majalah Tempo tahun 2000. Sungguh bangga bukan menjadi bagian dari Urang Awak!
Originally posted 2020-05-08 01:00:42.