Suku Baduy adalah sebutan bagi penduduk asli yang bermukim di kaki Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sebuah daerah dengan topografi yang terdiri dataran tinggi dan perbukitan dan hampir tak ada daratan.
Desa ini terletak jauh dari pusat keramaian, berjarak kurang lebih 65 km dari pusat kota Serang dan 172 km dari pusat Ibukota Jakarta. Membutuhkan waktu kurang lebih 9 jam perjalanan untuk sampai ke tempat ini.
Bagi yang hobi melancong, perjalanan menuju Desa Kanekes menghadirkan euforia tersendiri, terutama untuk menemui Suku Baduy Dalam. Pemandangan menuju Desa Kanekes dapat dijadikan sebagai stress healing dan terapi mata setelah berjibaku dengan hiruk pikuknya kota.
Wah, ada hal menarik apa lagi tentang Suku Baduy ya? Mari kita simak penjelasan lengkapnya.
Sejarah Tentang Asal Usul Suku Baduy
Sejatinya Suku Baduy merupakan salah satu sub-suku dari Suku Sunda. Sebutan Baduy sendiri diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat yang lebih senang menyebut diri mereka sebagai “urang Kanekes”, yang artinya “orang Kanekes”.
Sebuah sumber menyatakan bahwa sebutan Baduy awal mulanya dicetuskan oleh para peneliti Belanda. Mereka menganggap suku ini sama dengan etnis Arab Badawi yang hidupnya senang berpindah-pindah atau nomaden.
Sumber lain menyebutkan jika kata Baduy diambil dari nama Sungai dan Gunung Baduy yang terdapat di bagian utara wilayah Kanekes. Sedangkan menurut kisah legenda rakyat Banten kata Baduy diambil dari nama sebuah tempat hunian yaitu Sendang Cibaduy.
Begitu banyak pendapat dan sumber tentang asal mula kata Baduy. Sebagian lain mengatakan Baduy berasal dari kata “Budha” yang pelafalannya lama-lama menjadi Baduy oleh masyarakat lokal. Namun ada pula yang mengatakan kata Baduy diambil dari nama pohon Baduyut yang tumbuh subur di daerah Kanekes.
Djoewisno (1986) mengemukakan arti kata Baduy secara bahasa adalah “lautan pasir”. Diambil dari bahasa Arab “Badui” yang berasal dari kata “Badu” atau “Badaw”. Hingga kini teori ini yang dipercayai oleh para ahli, bahwa penamaan suku Baduy bermula dari bahasa Arab.
Menurut catatan sejarah, cikal bakal orang Baduy berasal dari sisa pasukan Kerajaan Padjadjaran yang menyelamatkan diri. Pasukan ini menyembunyikan identitas diri mereka untuk menghindari kejaran pasukan Kesultanan Banten dan Cirebon.
Keberadaan pasukan ini diduga memang ditugaskan untuk menjaga pelabuhan dagang besar milik Kerajaan Padjadjaran di Banten. Prabu Siliwangi membentuk pasukan khusus untuk mengamankan alam dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah yang kini disebut Gunung Kandeng.
Hingga kini kawasan hutan keramat di Desa Kanekes ini masih menjadi daerah yang paling disakralkan oleh Suku Baduy. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan animisme yang mereka anut, sehingga hutan ini masih terjaga dengan baik dibandingkan hutan-hutan lainnya di Jawa Barat yang sudah mulai rusak.
Kelompok Etnis Baduy
Seperti yang kita ketahui suku Baduy terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni Suku Baduy Dalam, Baduy Luar, dan Dangka. Menurut seorang ahli, orang Baduy merupakan penduduk asli daerah Kanekes yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dunia luar.
Hal inilah yang memicu munculnya asumsi jika orang Baduy seperti mengasingkan diri dari perkembangan zaman. Bahkan hingga kini masyarakat ini masih memegang erat kepercayaan jika mereka merupakan keturunan Bhatara Cikal.
Salah satu Dewa yang pertama kali turun ke bumi dan mendiami wilayah tempat Suku Baduy kini berada. Dewa tersebut diutus untuk menjaga keharmonisan dunia, sehingga mereka meyakini daerah yang kini mereka tinggali sebagai Pancer Bumi (pusat dunia).
Baduy Dalam (Suku Tangtu)
Kelompok ini dikenal paling ketat dalam menjalankan aturan adat suku Baduy. Kebanyakan dari mereka bermukim di Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Bagi wisatawan, Suku Baduy Dalam sangat menarik untuk dikunjungi karena berbagai aturan adatnya.
Jika Anda ingin berkunjung langsung dan mempelajari tentang adat istiadat suku Baduy Dalam disarankan untuk menginap di Kampung Cibeo. Karena dibanding dengan dua kampung lainnya, masyarakat di kampung ini lebih terbuka dalam menyambut kunjungan wisatawan.
Namun Kampung Cikartawana dan Cikeusik juga menyuguhkan keasrian yang elok bagi yang ingin berwisata untuk mencari ketenangan. Asal tetap memegang teguh berbagai aturan saat berwisata ke Suku Tangtu, salah satunya adalah dilarang mengambil foto pada kondisi tertentu.
Suku yang memiliki ciri khas pakaian berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih ini mempunyai berbagai keunikan. Salah satunya yaitu sangat hemat dan gemar berjalan kaki. Hal ini karena memang adanya aturan atau larangan menggunakan kendaraan bermotor.
Orang yang menjadi kepala adat suku Baduy Dalam disebut sebagai Pu’un. Diyakini seorang Pu’un memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh masyarakat biasa. Pu’un bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, mengobati yang sakit, serta menerapkan hukum adat kepada warga.
Keunikan lainnya adalah tradisi “Kawalu” yang dijalankan orang Baduy Dalam. Yaitu rutinitas menjalankan puasa yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Selama menjalankan tradisi ini pula tamu dari luar dilarang berkunjung, hanya diperbolehkan sampai pemukiman Baduy Luar namun dilarang menginap.
Selama menjalankan puasa, masyarakat Tangtu akan berdoa kepada Tuhan untuk kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan negara Republik Indonesia ini.
Baduy Luar (Suku Panamping)
Ciri khas yang membedakan orang Baduy Luar dan Dalam adalah dari segi pakaiannya. Penduduk Baduy Luar biasanya mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Mereka mendiami berbagai kampung yang mengelilingi wilayah Baduy Dalam.
Mulai dari Kampung Cikadu, Kaduketuk, Gajeboh, Kadukolot, Cisagu, dan beberapa kampung yang lainnya. Meski masih memegang erat aturan adat istiadat namun masyarakat Suku Baduy Luar sudah mengenal kemajuan teknologi.
Menurut kabar yang beredar kelompok ini disebut sebagai Baduy Luar karena mereka memilih “keluar” dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Luar tidak mengisolasi diri dari dunia luar namun tetap patuh dan menghargai adat istiadat Baduy.
Sebab lain kelompok ini meninggalkan daerah Kanekes bagian dalam karena keinginan untuk menikah dengan kelompok lain. Berbeda dengan masyarakat Baduy Dalam yang masing tetap mempertahankan dengan kuat warisan budaya leluhur dan tidak terpengaruh kebudayaan luar.
Meski begitu di era modern ini masyarakat Baduy Dalam sudah mulai melakukan interaksi sosial dengan para tamu yang berkunjung. Seperti yang kita ketahui wilayah Baduy baik Kanekes luar maupun dalam kini terbuka sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Indonesia.
Suku Dangka
Tak banyak yang membahas mengenai suku Baduy Dangka karena sebagian orang menyamakan kelompok ini dengan suku Baduy Dalam. Baduy Dangka sendiri merupakan sebutan bagi orang Baduy yang tinggal di luar wilayah Desa Kanekes.
Berbeda dengan orang Baduy Luar yang tetap tinggal di sekeliling Desa Kanekes, di luar wilayah tempat bermukim suku Baduy Dalam. Nama Dangka sendiri diambil dari nama wilayah yang ditempati suku ini, mereka menempati dua kampung yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Wilayah Kampung Dangka ini berfungsi sebagai “buffer zone” bagi masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Dimana mereka menyaring segala pengaruh dan interaksi dari dunia luar di Kampung Dangka.
Nah, dari informasi di atas kita memahami bahwa keragaman suku dan kebudayaan di Indonesia sangatlah tinggi. Di era modern seperti sekarang ini kita harus tetap mempertahankan seni dan kebudayaan sebagai ciri khas dan identitas bangsa. Semoga bermanfaat!
Originally posted 2020-05-27 06:20:11.