Rumah Adat Sulawesi Tenggara, Bangunan Rumah dan Istana Adat

Rumah adat Sulawesi Tenggara dinamakan Banua Tada atau disebut juga rumah siku karena banyaknya siku-siku pada struktur rangka bangunannya. Itu juga merupakan arti dari banua tada yang terdiri atas dua kata , yakni Banua yang berarti rumah dan tada yang berarti siku. secara harfiah banua tada memang berarti rumah siku.


Rumah Adat Sulawesi Tenggara


Provinsi Sulawesi Tenggara yang beribu kota di Kota Kendari emiliki luas wilayah sebesar 38.140 km². Total jumlah penduduknya sebanyak 2.704.737 jiwa dengan berbagai macam suku bangsa.

Beberapa suku bangsa yang mendiami wilayah Sultra, diantaranya ada suku Tolaki, Buton, Muna, Moronene, Wawoni, dan beberapa suku lainnya. Masing-masing etnis memiliki rumah adat yang berbeda-beda. Selain rumah Banua Tada, masih ada beberapa rumah adat lainnya khas Sultra.

Banua Tada

Dalam mendirikan rumah tradisional banua tada tidak memakai paku. Semua tiang dibuat dari kayu bulat yang ditumpangkan di atas pondasi batu alam. Sementara lantai rumah umumnya dibuat dari papan kayu jati yang kuat. Papan-papan tersebut disusun sedemikian rupa menggunakan teknik kunci.

Papanpapan tersebut saling menyatu kuat meski tanpa dipaku. Begitu juga dengan dinding rumah. Sementara atap terbuat dari daun rumbia dan hipa-hipa yang disusun saling bertumpukan.

Berdasarkan peruntukannya, banua tada terbagi dalam tiga jenis, yakni kamali atau malige, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Masing-masing banua tada memiliki fungsi yang sama tapi peruntukannya berbeda satu sama lain.

Kamali atau malige merupakan rumah atau istana tempat tinggal raja beserta keluarganya. Banua tada tare pata pale merupakan rumah siku bertiang empat tempat tinggal pejabat dan pengawal istana. Sedangkan banua tada tare talu pale merupakan rumah siku bertiang tiga tempat tinggal untuk oarang biasa.

Material bangunan yang biasa digunakan untuk membuat rumah, diantaranya kayu pohon nangka, kayu jati, dan kayu bayem. Lantainya terbuat dari bambu sedang atapnya dari daun rumbia atau nipa. Sendi atau pondasi berasal dari batu sungai atau gunung dan dindingnya dari papan kayu.

Rumah Komali

rumah adat sulawesi tenggara
topgambarrumah.blogspot.com

Ada banyak sekali suku yang hidup saling berdampingan di wilayah Sulawesi Tenggara. Tiga suku terbesar yang mendiami wilayah Sultra, diantaranya ada Suku Tolaki, Buton, dan Muna. Sisanya etnis-etnis kecil yang tersebar di seluruh pulau-pulau di wilayah Sultra.

Komali merupakan rumah adat dari Suku Tolaki. Sekarang ini komali yang asli sudah tidak tersisa lagi. Meskipun begitu pemerintah setempat sudah membuat duplikatnya agar masyarakat bisa tahu keberagaman budaya Indonesia. Duplikat rumah komali memang tidak sama persis dengan aslinya karena berbagai penyesuaian.

Sebenarnya rumah komali merupakan sebuah istana tempat tinggal raja dan juga balai pertemuan. Itulah mengapa rumah ini dibangun sangat besar. Tujuannya agar dapat memuat banyak orang saat. Alasan lain karena rumah ini dibangun sebagai wujud rasa hormat kepada pemimpin mereka atau raja.

Komali berbentuk rumah panggung dengan luas 64 meter² yang memanjang kebelakang. Sebelah kiri, kanan, depan dan belakan rumah induk terdapat bangunan sayap yang disebut tinumba.

Tinggi tiang rumah komali adalah dua meter dan jumlah tiang penyangganya ada 40 buah. Dinding, tiang, serta lantai terbuat dari kayu. Zaman dahulu atap rumah komali dibuat sedikit melengkung meyerupai tanduk kerbau dan terbuat dari daun rumbia.

Unsur-unsur rumah komali melambangkan tata cara untuk hidup berdampingan dengan baik. Unsur-unsur tersebut, misalnya hiasan-hiasan pada atap dan tata cara peletakan tiang rumah.

Di bagian atap rumah terdapat dua macam hiasan, yakni tanduk kerbau pada ujung atap dan dua segitiga yang saling terbalik. Tanduk kerbau melambangkan kemakmuran dan segitiga melambangkan kepedulian kepada keluarga dan orang-orang sekitar.

Pada bagian tengah rumah diletakkan satu tiang utama yang disebut petumbu. Petumbu dikelilingi oleh delapan tiang lainnya yang melambangkan delapan arah mata amngin. Filosofi dibalik tiang-tiang tersebut adalah rumah merupakan tempat berlindung dari berbagai macam bahaya yang datang dari segala arah.

Malige

Kabupaten Buton didiami oleh suku Buton atau yang juga dikenal dengan Suku Walio.

Di Kabupaten Buton, tepatnya di Kota Baubau terdapat sebuah bangunan adat yang disebut malige. Malige berasal dari kata mahligai yang berarti istana.

Memang pada dasarnya malige diperuntukkan bagi sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat tinggal. Namun, saat ini malige beralih fungsi sebagai objek wisata sejarah Kerajaan Buton.

Berbentuk rumah panggung, bangunan malige memiliki empat lantai. Lantai dua ukurannya lebih kecil dari lantai satu, lantai tiga lebih kecil dari lantai dua. Sementara lantai empat lebih luas dari lantai tiga. Selain bangunan induk, malige juga memiliki sebuah bangunan kecil di bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur.

Dapur dan bangunan induk dihubungkan dengan sebuah jembatan yang mirip jembatan penyebrangan. Setiap lantai memiliki ruang dengan fungsinya masing-masing.

Lantai pertama (L 1) dipakai sebagai tempat menerima tamu, ruang sidang, kamar tidur tamu, ruang makan tamu, kamar anak-anak sultan yang telah menikah, dan kamar anak yang sudah dewasa. L 2 (lantai dua) digunakan untuk ruang tamu keluarga, kantor, gudang, kamar keluarga sultan, dan aula. Setidaknya ada 14 kamar di lantai 2.

L 3 (lantai tiga) berfungsi sebagai tempat bersantai keluarga sultan dan lantai empat sebagai tempat penjemuran. Itulah masing-masing ruangan yang ada di setiap lantai istana.

Keunikan dari rumah malige terletak pada hiasannya. Hiasan-hiasan tersebut berupa ukiran dengan motif buah nanas, buah butun, daun ake, motif kambang atau kelopak teratai, dan motif naga. Masing-masing motif ukiran memiliki arti tersendiri.

Raha Bulelenga

Suku Kulisusu merupakan salah satu suku yang terdapat di Provinsi Sultra. Seperti kebanyakan etnis lainnya Suku Kulisusu juga memiliki bangunan tradisional yang khas. Salah satunya adalah raha bulelenga yang merupakan rumah peninggalan zaman purbakala di Buton Utara.

Awalnya raha bulelenga dibangun di atas sebuah bukit yang disebut Bukit Bangkudu. Akan tetapi saat ini raha bulelenga sudah dipindahkan ke dalam komplek Keraton Kalisusu di Desa Lipu.

Dulunya rumah ini dibuat sebagai tempat bagi mancuana (tetua yang dipercaya untuk memimpin kampung) untuk berdoa, bertapa, dan memohon berkat. Kini raha bulelengan sudah difungsikan sebagai objek wisata sejarah.

Raha bulelenga termasuk jenis rumah panggung yang dibangun diatas satu tiang saja. Dimana tiang inilah yang disebut dengan bulelenga. Bagian ats tiang ini dipasang empat buah hiasan burung kakatua. Hiasan tersebut dapat berputar bila tertiup angin.

Saat dipugar, raha bulelenga yang tadinya hanya memiliki satu tiang ditambah empat buah tiang. Tiap sudut memiliki satu buah tiang. Tujuan penambahan tiang tersebut agar bangunan rumah menjadi lebih kuat dan kokoh.

Bulelenga atau tiang utama ditancapkan ke dalam tanah sedangkan keempat tiang lainnya tidak. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu dengan atap rumbia. Bentuk bangunannya segi empat dengan ukuran 6,10 x 6,10 meter dan bagian dalan dibuat sekat berbentuk segilima.

Keywords: Rumah Adat Sulawesi Tenggara

Originally posted 2020-05-23 17:38:33.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.