Suku Tengger, Sebuah Kebudayaan yang Unik dari Kaki Gunung Bromo

Berbicara tentang Suku Tengger mengingatkan kita pada keindahan alam Gunung Bromo di Jawa Timur. Gunung aktif yang berada pada ketinggian 2.392 mdpl ini merupakan tempat bermukim penduduk asli Tengger yang memiliki kebudayaan agak berbeda dari kebanyakan suku di Jawa Timur.

Keberadaan suku ini di Gunung Bromo memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Selain untuk wisata alam, mereka juga dapat menyaksikan secara langsung adat istiadat masyarakat Tengger yang terkenal dengan upacara adat bernama ‘yadnya kasada’.

Meski masih serumpun dengan suku lain yang ada di Pulau Jawa, namun suku Tengger punya keunikan tersendiri. Untuk berkomunikasi suku Tengger menggunakan bahasa Jawa namun dengan dialek bahasa Kawi. Serta suku ini masih mempertahankan kosakata Jawa Kuno yang kini sudah jarang kita dengar.


Sejarah Singkat Suku Tengger


goodnewsfromindonesia.id

Belum diketahui secara pasti asal muasal nama suku Tengger. Banyak sumber dan penjelasan yang berbeda tentang sejarah penamaan etnis yang bermukim di kaki Gunung Bromo ini. Bagi masyarakat sekitar kata Tengger berarti nama wilayah pegunungan tempat suku tersebut berasal.

Namun ada pula yang berasumsi jika kata Tengger merupakan gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nenek moyang alias leluhur suku ini. Banyak pula yang mengatakan jika Tengger diambil dari watak suku Tengger, menggambarkan budi pekerti yang luhur (Tenggering Budi Luhur).

Dikutip dari buku “Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam” karya Robert W. Hefner, dijelaskan bahwa suku Tengger merupakan keturunan Kerajaan Majapahit.

Selepas meninggalnya Patih Gadjah Mada dan Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran yang sangat drastis. Sehingga pada abad ke-16 kerajaan ini benar-benar lemah karena diserang oleh Kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Fatah.

Tepatnya pada tahun 1426 M penduduk Kerajaan Majapahit menyadari bahwa kerajaan mereka dalam keadaan lemah dan tak dapat lagi bertahan. Kenyataan ini membuat mereka terdesak hingga memutuskan untuk menyelamatkan diri dengan mencari hunian baru yang sekira jauh dari jangkauan.

Sebagian dari penduduk Majapahit ada yang menyelamatkan diri ke Pulau Bali dan sebagian lagi ada yang mengungsi ke kawasan pegunungan di Jawa Timur. Mereka yang mendiami wilayah pegunungan kemudian memilih untuk menutup diri dari pengaruh dunia luar.

Masyarakat pegunungan inilah yang kemudian dikenal sebagai suku Tengger, yang kini wilayahnya kita ketahui sebagai tempat wisata sebagai kaki Gunung Bromo.

Cerita mengenai asal usul leluhur suku Tengger berkembang dalam bentuk legenda di tengah masyarakat Tengger sendiri. Sejarah ini bermula dari pernikahan Roro Anteng (putri pembesar Kerajaan Majapahit) dan Joko Seger (putra dari seorang Brahmana).

Bersama dengan rakyatnya kedua pasangan ini ikut mengungsi ke daerah pegunungan yang kala itu masih berbentuk pedalaman hutan di Jawa Timur.

Kisah Roro Anteng dan Joko Seger

Suku Tengger
goodnewsfromindonesia.id

Roro Anteng adalah putri dari raja Majapahit, Dyah Suryawikrama sementara Joko Seger merupakan putra dari seorang brahmana bernama Lembu Mirunda, dikenal juga sebagai Panembahan Ageng Bromo.

Semua kisah ini bermula dari peristiwa kekisruhan suksesi raja di Majapahit. Untuk menghindari kekisruhan Limbu Mirunda yang merupakan putra dari Dyah Suraprabhawa memutuskan untuk mengungsi ke Kuthrenonon Lamajang, kini dikenal sebagai daerah Blambangan.

Limbu Mirunda memiliki dua putera yaitu Menak Semar dan Joko Seger. Disaat Menak Semar terpilih menjadi Patih di Kerajaan Blambangan, Limbu Mirunda mendapatkan tanah perdikan di daerah Bromo untuk membuka padepokan.

Di padepokan inilah Joko Seger menikahi putri cantik bernama Roro Anteng. Keduanya kemudian mendirikan pemukiman yang diberi nama Desa Tengger. Penamaan desa ini diambil dari penggabungan nama belakang kedua insan tersebut (Roro An-TENG dan Joko Se-GER).

Dalam pemukiman tersebut keduanya diangkat menjadi pemimpin kawasan Tengger. Keduanya diberi gelar sebagai Purbowasesa “Mangkurat Ing Tengger”, artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kemudian disebut sebagai cikal bakal terciptanya suku Tengger.

Suku ini hidup di kaki Gunung Bromo, yang mana Bromo merujuk kepada nama Dewa Brahma. Masyarakat Tengger merupakan pemeluk agama Hindu lama, yaitu Hindu yang tidak memiliki kuil atau candi sebagai tempat beribadat.

Hingga kini mereka memegang teguh pedoman hidup sesuai ajaran Hindu lama. Tidak menerapkan kasta dalam masyarakat apalagi tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa pada umumnya. Semua masyarakat memiliki posisi dan martabat yang sama.

Sehingga keberadaan suku ini sangat dihormati oleh penduduk sekitar. Mereka hidup dalam prinsip kesederhanaan dan kejujuran. Untuk saat ini suku Tengger mempunyai satu pura yaitu Pura Poten Bromo yang berada tepat di lautan pasir Gunung Bromo.

Keunikan Budaya Suku Tengger

wikiwand.com

Selama bertahun-tahun kehidupan suku Tengger terbilang tak tersentuh oleh dunia luar. Mereka memilih menutup diri karena memiliki masih trauma saat diserang kerajaan lain pada masa lalu.

Namun kini kehidupan sosial masyarakat Tengger sudah berkembang. Tak hanya mendiami kawasan Gunung Bromo, suku ini mulai juga menyebar tinggal di daerah Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Pusat kebudayaan aslinya tetap di daerah asal mereka, pedalaman kaki Gunung Bromo.

Seperti suku Toraja, suku Minangkabau, dan suku lainnya di penjuru Indonesia, suku Tengger juga memiliki keunikan dan tradisi yang menjadi ciri khas. Keunikan inilah yang membentuk identitas di sebuah etnis, sehingga masyarakat luar mudah mengenalinya.

Upacara Yadnya Kasada

Layaknya suku lainnya di Nusantara, setiap suku pasti memiliki upacara adat yang selalu dinanti-nantikan oleh para wisatawan. Keunikan pertama dari suku Tengger adalah adanya Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo.

Upacara umat Hindu dari suku Tengger ini diadakan setiap hari ke-14 pada bulan kesepuluh (kasada atau kasodo). Sebuah sumber menyebutkan jika upacara ini bermula dari sebuah perjanjian dalam Legenda Roro Anteng dan Joko Seger.

Ritual dilaksanakan di Pura Luhur Poten Bromo yang berada di bawah kaki Gunung Bromo. Bermula dari pura ini masyarakat Tengger membawa seserahan berupa hewan ternak dan hasil panen kebun dan dibawa naik ke arah puncak gunung.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk meminta berkah dan keselamatan kepada Dewa Brahma. Ritual ini harus dilakukan di Gunung Bromo, karena gunung ini dianggap sebagai gunung suci tempat Dewa Brahma bernaung.

Ojung, Ritual Meminta Hujan

Bagi wisatawan ritual ini merupakan pertunjukan kesenian khas dari kaki Gunung Bromo. Namun bagi masyarakat Tengger ‘Ojung’ adalah ritual untuk meminta hujan kepada yang maha kuasa. Tentu ritual ini akan dilakukan jika musim kemarau tiba.

Ritual Ojung dibuka oleh pagelaran tari-tarian, diantaranya Tari Topeng dan Tari Rontek Singo Wulung. Setelah itu baru kemudian dilanjutkan dengan pertandingan antara dua orang laki-laki dimana masing-masing membawa rotan.

Pertandingan inilah yang menjadi inti dari ritual ‘Ojung’. Layaknya dua orang berkelahi, kedua peserta harus saling mencambuk lawannya. Yang paling banyak mencambuk dianggap sebagai pemenang. Unik sekali bukan, pertandingan ini dapat diikuti oleh laki-laki dalam rentang usia 17-50 tahun.

Karo, Hari Raya Masyarakat Tengger

Bagi umat Hindu Tengger, hari raya Karo lebih dinanti-nantikan daripada hari raya Nyepi. Tepat setelah Nyepo hari raya Karo diselenggarakan secara besar-besaran. Diantaranya ada pagelaran kesenian adat, silaturahmi antar tetangga dan sanak saudara, dan pawai hasil bumi.


Itulah ulasan seputar sejarah dan keunikan suku Tengger. Semoga tulisan kali ini bermanfaat dalam menambah wawasan kita semua tentang keberagaman suku bangsa di Indonesia.

Originally posted 2020-04-28 10:00:42.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.