Profil Provinsi Jawa Tengah | Sejarah, Logo, Hidrogafi, Bahasa dan Sukunya

Profil Provinsi Jawa Tengah – Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang letaknya berada di Pulau Jawa.

Provinsi ini juga berbatasan dengan beberapa provinsi lainnya di Pulau Jawa meliputi Provinsi Jawa Barat di batas bagian barat, Provinsi Jawa Timur untuk batas wilayah sebelah timur, serta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk batas sebelah selatan.

Sebagian wilayah selatan Jawa Tengah juga berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Sedangkan untuk batas wilayah sebelah utara, provinsi ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Memiliki luas wilayah sebesar 34.548 km2, provinsi ini juga melingkupi sejumlah pulau di sekitarnya seperti Karimun Jawa dan Nusakambangan.

Secara geografis, kawasan Jawa Tengah ini terdiri dari daerah pegunungan dan dataran rendah.


Logo Provinsi Jawa Tengah


gudrilogo.blogspot.com

Logo dari provinsi ini memiliki bentuk segi lima kendi amerta atau sering disebut cupu manik. Logo tersebut terdiri dari berbagai macam simbol seperti gunung kembar, candi Borobudur, laut, bambu runcing, bintang, padi dan kapas. Di bagian bawahnya terdapat bagian berwrna kuning dengan tulisan “Jawa Tengah”.

Di bawahnya lagi terdapat semboyan Jawa Tengah yaitu “Prasetya Ulah Sakti Bhakti Praja”. Semboyan ini berarti janji akan berkerja keras untuk membangun bangsa dan negara.

Bentuk kendi amerta ini melambangkan Pancasila. Sulur berwarna merah dan putih yang ada di bagian atas adalah lambang semangat kebangsaan.

Bambu runcing yang ada di tengah logo menggambarkan semangat perjuangan dan kepahlawanan. Sedangkan bintang di atas bambu adalah simbol ketuhanan.

Candi Borobudur merupakan identitas dari provinsi ini sedangkan gunung kembar di belakangnya selain merupakan lambang geografis dari gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah juga merupakan lambang dari persatuan di antara pemerintah daerah dan rakyatnya.

Ada juga simbol laut yang berarti kehidupan. Selain itu simbol padi dan kapas yang ada di samping logo berarti kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah yang menjadi harapan dari seluruh rakyat Provinsi Jawa Tengah.


Sejarah Terbentuknya Provinsi Jawa Tengah


Provinsi Jawa Tengah diketahui telah terbentuk sejak era Hindia Belanda. Tepatnya pada 1905, provinsi ini terbagi ke dalam lima wilayah yaitu Banyumas, Semarang, Kedu, Pati, dan Pekalongan. Masing-masing wilayah tersebut memiliki sejumlah kabupaten.

Di tahun yang sama pemerintah memberlakukan Decentralisatie Besluit sehingga wilayah yang sudah ada memiliki otonomi dan dewan daerah.

Kotapraja yang otonom juga mulai ada dengan dipelopori oleh beberapa daerah yakni Magelang, Pekalongan, Salatiga, Semarang, dan Tegal.

Kemudian pada 1930, provinsi diberi kewenangan otonom dan mempunyai dewan provinsi. Provinsi mencakup sejumlah karesidenan yang terdiri dari beberapa kabupaten yang masih dibagi lagi menjadi kawedanan.

Setelah kemerdekaan terjadi pembentukan swapraja kasunanan dan magkunegaran yang pada akhirnya menjadi karesidenan.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Undang-undang menetapkan terbentuknya kabupaten dan kotamadya di Provinsi Jawa Tengah. Tanggal penetapan tersebut hingga kini selalu diperingati sebagai hari jadi provinsi ini.


Hidrografi Provinsi Jawa Tengah


Jawa Tengah memiliki sungai paling panjang di Pulau Jawa yang bernama Sungai Bengawan Solo. Sungai ini memiliki panjang 572 km.

Selain itu, terdapat mata air yang berada di Wonogiri yang muaranya ada di Gresik. Provinsi ini memiliki banyak aliran sungai yang bermuara di Laut Jawa dan Samudra Hindia.

Selain sungai, Jawa Tengah juga memiliki banyak sekali waduk, di antaranya yang terkenal adalah Waduk Gajahmungkur dan Rawa Pening.


Gunung berapi


Relief Jawa Tengah yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan membuat daerah ini memiliki sejumlah gunung api yaitu Gunung Dieng, Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Slamet, dan Gunung Sumbing.


Iklim Provinsi Jawa Tengah


Iklim di Jawa Tengah adalah tropis. Suhu rata-rata dari daerah ini adalah sekitar 21-32 derajat Celcius. Curah hujan rata-rata yang ada di Jawa Tengah adalah 2.000 mm per tahun.

Curah hujan tertinggi adalah di Nusakambangan sedangkan curah hujan terendah berada di Blora dan beberapa daerah yang tak jauh dari tempat itu.


Keadaan Tanah


Jawa Tengah ini memiliki beberapa jenis tanah yang mendominasi keadaan tanah daerah. Sebagian besar daerah ini terdiri dari tanah aluvial, grumusol, dan latosol.

Ketiga jenis tanah tersebut membentuk kondisi tanah yang subur untuk berbagai macam persamaan.


Bahasa Provinsi Jawa Tengah


Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan seperti dalam pemerintahan dan pendidikan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa.

Meskipun Bahasa Jawa adalah bahasa mayoritas tetapi setiap daerah memiliki dialek masing-masing sehingga Bahasa Jawa menjadi terdengar sangat bervariasi.

Bahasa Jawa umum yang dipakai adalah yang menggunakan dialek Jogja atau Solo.

Tetapi, ada juga dialek lain yang cukup sering dipakai. Untuk mereka yang tinggal dai Jawa Tengah bagian barat, mungkin dialek yang sering terdengar adalah dialek Tegal atau Banyumas.

Namun, untuk yang tinggal di daerah bagian timur, dialek yang cukup akrab di telinga masyarakat adalah dialek Semarang dan Pati.


Suku Provinsi Jawa Tengah


Penduduk yang mendiami provinsi ini sebagian besar berasal dari Suku Jawa. Hal ini tentu tak bisa dipisahkan bahwa pusat budaya dahulu terletak di Yogyakarta dan Surakarta. Tetapi, anda juga bisa menemukan suku-suku lainnya.

Suku Tionghoa misalnya meskipun jumlahnya sedikit namun cukup berperan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam bidang perdagangan. Warga Tionghoa bisa dengan mudah ditemukan di daerah perkotaan.

Di daerah kota, anda juga bisa dengan mudah menjumpai komunitas yang terdiri dari orang Arab dan Indonesia.

Sedangkan di wilayah Jawa Tengah sebelah barat, tepatnya di daerah perbatasan, anda bisa menjumpai orang Sunda yang tinggal di beberapa daerah yang masih masuk dalam kawasan Provinsi Jawa Tengah.

2 Cerita Rakyat dari Jawa Tengah

Jawa Tengah mempunyai banyak cerita rakyat, Nah dalam artikel kali ini kami akan menyampaikan 2 cerita rakyat dari Jawa Tengah yang mungkin Anda belum pernah mendengarnya. Yuk simak selengkapnya.


1. Cerita Rakyat Kisah Gua Keramat


Alkisah Pada zaman dahulu, di daerah Rembang, Jawa Tengah, pernah terjadi kekeringan yang amat panjang. Hal ini tentu saja membuat penduduk di daerah itu menjadi resah karena lahan pertanian mereka menjadi kering dan tidak dapat ditanami lagi.

Untuk mencari jalan keluar, mereka kemudian berkumpul di balai desa. Dan, dalam pertemuan itu akhirnya disepakati untuk meminta pertolongan Kiai Mojo Agung yang berasal dari daerah Tuban.

Singkat cerita, saat Kiai Mojo Agung datang, ia disambut oleh penduduk Rembang dengan penuh harap.

Menyaksikan para penduduk yang tampak lusuh dan sebagian besar bertubuh kurus hati Kiai Mojo Agung menjadi terharu. Ia lalu menancapkan sebuah tongkat besi yang selalu dibawanya ke tanah dan mulai berdoa.

Selesai berdoa, Kiyai Mojo Agung segera mengangkat kepala dan memandang sekelilingnya sambil berkata, “Akan datang air dan kura-kura”.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba gunung batu karang yang ada dihadapannya mulai merekah dan mengeluarkan air. Dalam air tersebut berenang pula ikan-ikan kecil dan kura-kura.

Melihat hal tersebut, penduduk segera berlutut di hadapan Kiai Mojo Agung. Mereka mengucapkan terima kasih karena Kiai Mojo Agung telah membebaskan dari bencana kekeringan yang berkepanjang.

Selanjutnya, Kiai Mojo Agung membuat sebuah tanda di gua yang terbentuk dari aliran air yang keluar dari gunung batu karang.

Dan, sebelum kembali ke Tuban ia mengamanatkan kepada penduduk agar hanya memanfaatkan air yang keluar dari dalam gua.


2. Cerita Rakyat Sampuraga


Pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak hidup seorang janda tua bersama anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun tinggal di sebuah gubuk yang sudah reot mereka selalu hidup bahagia dan saling menyayangi.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang-orang kaya yang ada di desanya.

Suatu hari, saat Sampuraga sedang beristirahat makan siang bersama majikannya di bawah sebuah pohon yang sangat rindang, terjadilah suatu percakapan yang cukup serius.

“Sampuraga, usiamu masih sangat muda. Kalau boleh aku menyarankan, sebaiknya engkau pergi saja ke negeri lain yang lebih subur dan penduduknya lebih makmur dari desa ini,” kata Sang Majikan.

“Negeri manakah itu, tuanku?” tanya Sampuraga penasaran.

“Negeri Mandailing namanya. Disana sebagian besar penduduk memiliki sawah atau ladang. Selain itu, ada pula yang menjadi pedagang dan pendulang emas di sungai karena tanahnya memiliki banyak kandungan emas,” kata Sang Majikan lagi.

“Sebenarnya saya sudah lama bercita-cita ingin merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya. Namun, saya tidak tahu harus ke negeri mana saya pergi,” kata Sampuraga.

“Baiklah, sebaiknya engkau meminta izin terlebih dahulu pada ibumu kalau ingin pergi mengejar cita-citamu itu,” kata Sang Majikan sebelum mengajaknya kembali bekerja.

Sepulang bekerja dari ladang Sampuraga langsung mendatangi ibunya untuk mengutarakan keinginannya merantau ke negeri lain, “Bu, Saya bermaksud ingin merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.”

“Ke manakah engkau akan pergi, anakku,” tanya Sang Ibu.

“Ke Negeri Mandailing, Bu. Kata majikanku di negeri itu rakyatnya hidup makmur dan sejahtera karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga.

“Kalau itu kehendakmu, pergilah anakku. Doaku akan selalu menyertaimu,” kata Sang Ibu sambil menahan tangis.

“Terima kasih, Bu. Saya berjanji jika nanti sudah berhasil akan segera pulang untuk membahagiakan ibu.”

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke Negeri Mandailing Sampuraga berpamitan dahulu kepada ibunya. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu.

Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata mereka. Ibunya lalu merangkul Sampuraga sambil berkata, “Sudahlah, anakku! Apabila Tuhan menghendaki, kita pasti akan berjumpa lagi.”

Setelah perpisahan itu berangkatlah Sampuraga menuju Negeri Mandailing. Berhari-hari ia berjalan menyusuri hutan belantara, lembah dan bukit hingga akhirnya sampai di Kota Kerajaan Pidoli, Madailing.

Sampuraga sangat terpesona melihat negeri itu yang rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Setiap keluarga memiliki rumah yang indah. Di tengah-tengah kota berdiri sebuah istana yang megah pula.

Merasa cocok dengan suasana di kota itu, Sampuraga lalu mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan yang ada di sana.

Dengan mudah, ia mendapatkan keterangan bahwa ada seorang saudagar kaya raya yang kebetulan sedang mencari pegawai baru untuk membantu pekerjaannya.

Ia lalu menuju ke rumah sang saudagar untuk mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya itu ternyata langsung diterima oleh Sang Saudagar.

Singkat cerita, selama beberapa bulan bekerja Sampuraga dinilai sangat rajin dan jujur oleh Sang Saudagar. Oleh karena itu, Sang Saudagar memutuskan untuk membuka cabang dengan Sampuraga yang menjadi pengelolanya.

Ternyata, dalam waktu singkat usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modal sehingga usahanya semakin lama semakin besar dan maju.

Melihat keberhasilan Sampuraga, Sang Saudagar senang bukan kepalang. Dan, agar kerajaan bisnisnya semakin bertambah besar ia berkeinginan untuk menikahkan Sampuraga dengan puterinya yang terkenal paling cantik di seantero Kerajaan Pandoli. Ia pun memanggil Sampuraga untuk mengutarakan niatnya itu.

Saat Sampuraga datang Sang Saudagar langsung mengajaknya berbicara empat mata. “Raga, engkau adalah anak yang baik, rajin, dan jujur. Alangkah baiknya apabila engkau menikah dengan puteriku. Suatu saat nanti engkau dapat menjadi penerus usahaku.”

Sampuraga yang memang sejak awal telah menaruh hati pada sang puteri segera menjawab singkat, “Baiklah Tuan. Dengan senang hati saya akan menikahi puteri Tuan.”

Beberapa bulan kemudian pernikahan antara Sampuraga dengan puteri Sang Saudagar digelar secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. B

erita mengenai pesta pernikahan yang meriah itu tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah, termasuk ke tanah kelahiran Sampuraga.

Sang ibu yang juga mendengar kabar bahwa Sampuraga telah menikahi seorang gadis anak saudagar kaya raya, merasa ragu dan mengira kalau hanya namanya saja yang sama dengan anaknya. Dalam benaknya, tidak mungkin anaknya yang miskin dapat menikahi seorang puteri bangsawan.

Namun, mungkin karena ikatan batin, ibu tua itu akhirnya memutuskan pergi ke Mandailing untuk mengetahui siapakah gerangan yang menikahi Sang Puteri. Dengan bekal secukupnya berangkatlah ia menuju Mandailing untuk menyaksikan pernikahan mewah yang dilangsungkan selama beberapa hari.

Setibanya di wilayah Kerajaan Pandoli, tampaklah sebuah keramaian pesta pernikahan. Dengan langkah terseok-seok ia berusaha mendekati pusat keramaian tersebut.

Dan, alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa orang yang duduk bersanding dengan Sang Puteri tidak lain adalah Sampuraga, anak sematawayangnya. Ia lalu berteriak memanggil anaknya itu.

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. Apalagi setelah sumber suara itu menampakkan diri dari kerumunan sambil berkata lagi, “Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!”

Melihat ibunya yang berpakaian lusuh seperti seorang pengemis, Sampuraga menjadi malu luar biasa. Dengan muka merah padam ia menghardik perempuan tua itu, “Hei, perempuan jelek! Enak saja engkau mengaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu yang lusuh seperti dirimu. Cepat pergi dari sini dan jangan mengacaukan pernikahanku!”

“Aku ini adalah ibu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa engkau melupakanku? Apakah karena penampilanku yang tidak sebanding lagi dengan dirimu?” tanya perempuan itu.

“Engkau bukan ibuku. Ibuku telah lama meninggal dunia! Pengawal, cepat usir nenek tua ini!” jawab Sampuraga ketus.

Mendengar jawaban Sampuraga yang sangat menyakit, hati perempuan malang itu seakan hancur berkeping-keping. Dengan diiringi derai air mata ia pun berdoa, “Ya, Tuhan! Berilah anakku pelajaran. Ia telah mengingkari aku sebagai ibu kandungnya!”

Tidak lama setelah mengakhiri doanya, tiba-tiba jasadnya lenyap dan datanglah awan hitam pekat diiringi petir yang menyambar-nyambar.

Hujan pun turun dengan sangat lebat yang membuat sebagian besar undangan berlarian menyelamatkan diri.

Dalam waktu singkat tempat penyelenggaraan pesta perkawinan itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang berhasil selamat, termasuk Sampuraga dan isterinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi sebuah kolam yang disekitarnya terdapat beberapa buah batu kapur berukuran besar dan berbentuk menyerupai kerbau.

Selain itu, terdapat juga dua gundukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan.

Penduduk sekitar yang menganggap batu dan gundukan pasir-lumpur itu adalah sisa-sisa pesta pernikahan Sampuraga lalu menamakan kolam besar itu sebagai “Kolam Sampuraga”.

Saat ini, Kolam Sampuraga telah menjadi tempat wisata bagi penduduk di daerah Mandailing dan sekitarnya.

Mereka biasanya datang pada hari libur untuk melepas rutinitas keseharian sambil menikmati keindahan alam di sekitar kolam.

Keyword: Profil Provinsi Jawa Tengah

Originally posted 2020-08-04 04:52:21.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.