Pengertian itikaf secara bahasa adalah berdiam diri.
Kata itikaf atau i’tikaf, iktikaf, berasal dari Bahasa Arab akafa (اكف) yang berarti menetap, mengurung diri, atau menghalangi itulah pengertian itikaf secara bahasa.
Orang yang sedang melakukan itikaf disebut mutakif.
Pengertian Itikaf
I’tikaf merupakan kegiatan berdiam diri (tinggal) di atas sesuatu.
Pengertian itikaf dalam konteks ibadah dapat dikatakan kegiatan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif.
Syariat Beri’tikaf
Disunnahkan melakukan iktikaf pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya sepanjang tahun.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melakukannya diluar bulan Ramadhan, yaitu pada 10 hari terakhir bulan Syawwal.
Waktu Iktikaf
Itikaf boleh dilakukan sepanjang tahun, tapi yang paling utama adalah pada Bulan Ramadhan dan lebih utama lagi pada akhir bulan Ramadhan.
Nabi shallallahu alaihi wasallam sering kali beritikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau.
Iktikaf menjadi wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan.
Sedangkan iktikaf sebenarnya sunah yang tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja dan bisa lama atau singkat.
Syarat-syarat Itikaf
1. Muslim
2. Niat Ikhlas karena Allah Ta’ala semata.
3. Baligh dan berakal.
4. Suci dari hadats.
5. Disyariatkan dilakukan di dalam masjid. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Latin: Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn
Arti: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
7. Masjid-masjid yang digunakan untuk itikaf bukanlah masjid secara mutlak (seluruh masjid), tapi sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Tidak ada iktikaf kecuali pada tiga masjid (saja).” Yang dimaksud disini adalah masjid-masjid besar, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa.
Disunnahkan juga bagi orang-orang yang beritikaf untuk berpuasa sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam riwayat Aisyah ra.
Rukun Itikaf
1. Niat ikhlas karena Allah subhanahu wa Ta’ala.
2. Berdiam di masjid.
Terdapat dua pendapat ulama mengenai masjid yang boleh digunakan untuk beritikaf.
Sebagian ulama membolehkan setiap masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah lima waktu sebagai tempat itikaf.
Pendapat ini disebabkan untuk menghindari seringnya keluar masuk masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat berjamaah setiap waktu.
Pendapat lain mengatakan agar iktikaf dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk shalat jumat.
Tujuannya agar orang yang sedang beritikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at.
Pendapat kedua dikuatkan oleh para ulama syafi’iyah yang mengatakan bahwa iktikaf yang utama itu dilakukan di masjid-masjid jami’ karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam iktikaf di masjid jami’.
Lebih utama lagi bila dilaksanakan di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa.
Perkara-perkara yang Dibolehkan bagi Mutakif
1. Diperbolehkan keluar dari masjid apabila ada hajat yang harus dipenuhi. Contohnya buang air besar dan kecil atau segala sesuatu yang bersifat urgent dan tidak mungkin dilakukannya di dalam masjid. Setelah selesai menunaikan hajat hendaknya ia segera kembali ke dalam Masjid.
2. Boleh mengeluarkan kepalanya dari dalam masjid untuk disisir dan dicuci. Tidak hanya menyisir atau mencukur rambut, tapi memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan diluar masjid juga diperbolehkan dengan syarat segera kembali.
3. Orang yang sedang beritikaf diperbolehkan untuk berwudhu di area masjid. Baik itu berwudhu karena batal atau karena ingin membasuh muka agar terjaga.
4. Bagi orang yang sedang beri’tikaf diperbolehkan untuk mendirikan tenda kecil pada bagian belakang masjid tempatnya beri’tikaf. Jika dijaman sekarang maka diperbolehkan menggunakan mobil diparkiran belakang sebagai pengganti tenda.
5. Boleh makan dan minum, tidur, serta berbicara.
6. Bermuamalah melakukan perbuatan lain diluar ibadah, kecuali jual beli.
7. Menggunakan minyak rambut dan minyak wangi.
8. Diperbolehkan juga bagi orang yang sedang ber’tikaf untuk meletakkan kasur atau semacamnya di dalam tenda yang didirikannya. Misal tidak ada tenda yang didirikan bisa juga menggelar tikar atau memakai mobilnya, jika memiliki mobil.
9. Keluar dari masjid untuk mengantar istri sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam kepada istrinya Sofiyah ra.
Hal-hal yang Dimakruhkan ketika Itikaf
1. Menyubukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, entah itu perbuatan maupun perkataan.
2. Tidak mau berbicara ketika i’tikaf karena menganggapnya sebagai sebuah zuhud dan keseriusan beribadah. Perlu diketahui perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannnya.
Hal-hal yang Membatalkan Itikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan atau urgent mekipun sebentar.
2. Murtad atau keluar dari Agama Islam.
3. Hilangnya akal karena gila atau mabuk.
4. Haid atau nifas.
5. Bersetubuh dengan istri. Bila hanya memegang istri tanpa syahwat, maka tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan para istrinya.
Iktikafnya Para Wanita dan Kunjungannya ke Masjid
Keutamaan ibadah wanita adalah berada di dalam rumahnya, begitu juga dengan beritikaf. Lalu apakah wanita diperbolehkan beritikaf dimasjid?
Ada sebuah hadits yang menyatakan diperbolehkannya seorang istri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat itikaf.
Begitu juga dengan suami yang diperbolehkan mengantar istrinya sampai ke pintu masjid saat akan pulang ke rumah atau ke tendanya.
Seorang wanita juga diperbolehkan beritikaf dengan syarat harus seijin suaminya. Wanita boleh pergi beritikaf sendiri maupun didampingi oleh suaminya.
Bagi wanita yang sedang beristihadhah diperbolehkan untuk melakukan iktikaf karena darah istihadhah tidaklah najis seperti darah haid.
Diperbolehkan juga untuk mengganti pembalut selama itu masih di area masjid (kamar mandi masjid).
Batasan Waktu untuk Beri’tikaf
Pertama, waktu minimalnya adalah sehari atau telah melewati siang dan pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah. Sebagian Mahdzab maliki dan salah satu ulama Mahdzab Syafi’i menyetujuinya.
Kedua, waktu minimalnya ialah sehari semalam dan ini merupakan pendapat mayoritas penganut Mahdzab Maliki.
Ketiga, batas minimalnya adalah sepuluh hari, pendapat ini berdasarkan salah satu keterangan Imam Malik.
Keempat, boleh itikaf semalam saja atau sehari saja.
Kelima, boleh i’tikaf meskipun beberapa saat. Pendapat ini yang disetujui mayoritas ulama.
Namun, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah rentang minimal untuk beri’tikaf adalah sehari atau semalam.
Keutamaan dan Hikmah Itikaf
Mengerjakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan merupakan sunnah yang dianjurkan.
Maksudnya agar Umat Muslim memperoleh kebaikan dan mencari Lailatul Qadr.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun telah menganjurkan kita untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr.
Disunnahkan juga bagi para mutakif untuk menyibukkan diri dengan segala bentuk ketaatan kepada Allah. Misalnya:
- dengan memperbanyak sholat sunnah,
- membaca Al Qur’an,
- mengucapkan kalimat-kalimat dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir),
- beristighfar,
- membaca sholawat Nabi,
- berdoa, dan kebaikan lainnya.
Al Alamah Ibnul Qayyim mengatakan: Disyariatkannya iktikaf bagi mereka baik itu maksud serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala. Hatinya tertuju kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan segala kesibukan dengan makhluk untuk fokus kepadaNya.
Hingga saat beritikaf kita hanya mengingatnya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai pengganti kesedihan.
Dengan demikian ia mampu mencurahkan kepadaNya dan menjadikan semua keinginan kepadanya, hati sepenuhnya untukNya, bertafakur dalam mendapat keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan kita padaNya.
Ketika berkhalwat melalui itikaf sebagai ganti kelembutanNya atas makhluk.
Seseorang tersebut dapat merasakan kehadiran serta kelembutanNya manakala tidak ada lagi yang bisa berbuat lembut kepadanya dan dapat membahagiakannya selain Allah.
Itulah makna dari I’tikaf yang sebenarnya.
Demikian penjelasan kami mengenai pengertian itikaf. Semoga bermanfaat.
Originally posted 2021-08-11 05:30:25.